Awalnya si kecil membawa ponsel
pintar saya ke taman di depan rumah. Di sana ada teman-temannya. Usia mereka 8 –
12 tahun. Sebagian sudah punya ponsel sendiri.
Sepulang dari taman ada miscalled. Sejak itu mulailah
berdatangan chat dari teman-teman si
kecil. Bahkan mereka membuat grup whatsapp. Ukhti Penghuni Surga namanya. Masya
Allah... 😃
Saya memperbolehkan si kecil membalas chat teman-temannya. Saya pilih
membimbing bukan melarang. Lebih baik si kecil belajar dari saya daripada
diajari orang lain yang belum tentu tepat. Namun saya selalu mengingatkan si
kecil, chat-nya 5-10 menit saja atau saya pasang alarm sebagai tanda untuk
berhenti.
Seringkali saat si kecil chating, saya pantau Whatsapp web. Dia tahu karena kami duduk
berdekatan. Dia di sofa, saya menghadap laptop di depannya. Sesekali dia
melihat layar laptop apabila saya tersenyum karena membaca chat-nya.
Seringkali saya menganggap chat dia dan teman-temannya nggak
penting. Misalnya janjian main jam berapa atau minta disamperin ke rumah untuk
main. Tapi saya menahan mulut ini untuk tidak mengatakan hal itu. Apa yang
tidak penting menurut kita, orang dewasa, bisa jadi sangat penting bagi anak
kecil.
Satu hal yang saya temukan dari chat anak-anak usia SD tersebut adalah
sifat egosentris mereka. Temannya yang sudah kelas 6 pun seringkali belum bisa merasakan
berada di posisi orang lain. Minta chat-nya
langsung dibalas, marah jika chat-nya
lama direspon, berbagi foto saat dia dan keluarganya jalan-jalan yg bisa bikin
temannya iri.
Saya tidak bisa memengaruhi anak orang
lain secara langsung. Namun lewat si kecil saya berusaha memberikan pengaruh
itu. Misalnya saya sering mengatakan, “tolong nanti bilang sama si A, kalau aku
ga balas chat kamu itu karena aku
lagi ngerjain yang lain. Nggak pegang ponsel aja.” Entah tepat atau tidak cara
ini.
Seperti pagi itu, si kecil sudah chat aja, bertanya temannya sudah bangun
atau belum. Kemudian ponsel-nya ditinggal aja. Temannya jawab dan minta segera
dibalas. Jadilah saya yang membalas chat
temannya itu. Saya memberi tahu bahwa si kecil sedang sibuk dengan kata aku.
Saya bukan orang tua yang saklek
melarang anak menggunakan ponsel. Saya memilih untuk mendampingi dan membatasi.
Meskipun begitu saya sepakat, anak sebaiknya punya ponsel sendiri ketika sudah
akil balig. Jika belum baiknya ponsel masih berstatus pinjam dari orang
tua.
Anak yang sudah akil balig sudah mulai bisa
berpikir jauh ke depan, mempertimbangkan sebab akibat dan kontrol dirinya lebih
baik daripada yang belum akil balig. Hanya saja perkembangan tiap anak kan
beda-beda. Orang tua yang sudah memberikan kepemilikan ponsel untuk anak yang
belum akil balig mungkin punya pertimbangan sendiri.
Sumber foto freepik.com
Intinya anak2 dalam menggunakan smartphone harus didampingi oleh orangtua, agar mereka tak salah pilih konten yang dibaca dan ditonton.
BalasHapusIya, kudu didampingi. Nggak bisa dilepas begitu saja. Mereka bisa klik apapun yg manarik tanpa pikir panjang
Hapus