Ada satu pertanyaan sederhana, namun tidak semua pasangan menikah dapat menjawabnya. Pertanyaan itu adalah, “mengapa ingin memiliki anak?” Bagi pasangan yang bertahun-tahun menikah namun belum juga dikaruniai anak, pertanyaan itu akan dijawab dengan lancar. Mereka sudah melewati ribuan hari tanpa tangis bayi, tiada canda tawa dengan anak-anak. Mereka menemukan banyak sekali alasan sehingga ingin sekali memiliki anak. Untuk pasangan yang sangat mudah dititipi anak oleh-Nya, pertanyaan mengapa ingin memiliki anak, bisa jadi terbersit pun tidak. Anak seolah hadir begitu saja. Baru saja menikah, beberapa bulan kemudian istri hamil. Setahun kemudian pasangan suami istri telah menjadi orang tua. Beberapa tahun kemudian, anak kedua, ketiga dan seterusnya lahir. Jawaban-jawaban berikut ini mungkin menjadi jawaban sekian orang tua saat mendapat pertanyaan tersebut: Saya ingin menciptakan kembali masa kecil yang indah Ngg…Semacam investasi untuk hari nanti Sebab saya percaya, kita akan m
Seorang teman bernama A sering
sekali mengeluh di media sosial. Status terbarunya kerap melempar kritik kepada
sesama warganet atau para selebritas. Bahkan pemerintah dalam negeri dan luar
negeri pun sering mendapat kritik pedasnya.
Saya seringkali mengaktifkan
mode snooze selama 30 hari terhadap akun A. Bikin gerah
dan emosi negatif jika statusnya tak sengaja terbaca. Namun di sisi lain, saya
merasa tetap perlu menjalin relasi terhadapnya.
Satu teman lainnya si B. Dia
sering menggelar diskusi jarak jauh dengan akademisi dan selebritas. B menggunakan
aplikasi seperti Zoom dan sejenisnya untuk berbagi solusi berbagai masalah. B
memang seorang akademisi. Dia paham secara teori, mungkin praktiknya juga, bagaimana
cara menyelesaikan masalah.
Selain undangan untuk
menyimak diskusinya, potongan gambar (croping)
pelaksanaan diskusi itu kerap dibagikan B ke media sosial. Saya kagum, B bisa
mengelar diskusi jarak jauh sampai 3 – 4 kali dalam seminggu. Berapa banyak
orang yang sudah terselesaikan masalahnya karena solusi dari B? Belum ada
datanya.
Satu orang lainnya C, tidak
bisa dibilang teman sebenarnya. Saya tahu dan kenal dia, namun dia belum kenal
dan belum tahu dengan saya. Pertemuan saya dengan C di satu pelatihan internal.
Saya peserta, C pelatih. C memiliki banyak pengalaman menmepati berbagai posisi
di perusahaan. Satu yang saya kagumi dari C, dia menempuh pendidikan tinggi
ilmu teknik seperti saya, namun mengenyam pendidikan agama Islam sehingga layak
disebut ustad juga.
Usia C memang sudah sepuh. Dia
senang sekali berbagi pengalaman dan banyak hal pada siapa saja. Berbeda dengan
B yang memberikan solusi, C cenderung menstimulasi orang untuk menemukan
peluang bahkan di masa sulit seperti pandemi covid19 saat ini. Dibayar atau
tidak, bukan masalah. Soal kenikmatan dunia, C sepertinya sudah tidak ambil
pusing lagi.
Sosok A, B, dan C, saya pikir
perwujudan orang kalimat bijak berikut:
Small-man talking about the problem, greatman talking about the solution. Business Genious man find apportunity behind the problems.
Orang kerdil selalu meributkan masalah dan masalah. Memaki kegelapan. Orang besar berusaha mencari solusi. Orang jenius secara spiritual justru mencari celah, berbagi di era yang penuh kesulitan.
A kerap membahas masalah
remeh temeh dan problematika mancenegara yang justru membuat masalah itu
terlihat pelik. Emosi negatif tersirat dari kata-kata yang dirangkainya. Apakah
kebutuhan curcol A di dunia nyata kurang terpenuhi? Bisa jadi.
Saya cukup banyak menemukan pengumpat
dan pengeluh seperti A di media sosial.
A sosok dari orang kerdil yang meributkan masalah sehingga membuat masalah
baru. Terkadang saya memberi komentar untuk menenangkan A selain berdoa agar A
diberikan hidayah oleh-Nya.
Sosok B sering kita temukan
di kampus-kampus juga acara bincang-bincang masalah televisi swasta. Mereka
memberikan solusi. Kita dapat menerima dan melaksanakan solusinya atau
menganggapnya angin lalu. B merupakan orang besar yang selalu mencari solusi.
Orang yang selalu ringan
berbagi seperti C adalah sosok yang banyak dibutuhkan negeri ini. Mereka
orang-orang jenius spiritual yang menyalakan cahaya di tengah kegelapan,
kemudian mengajari orang lain agar dapat menyalakan cahaya juga. Saran dari
orang-orang jenius cenderung praktis dan mudah karena berdasarkan pengalaman
selain ilmu.
Bukan salah menjadi orang
besar seperti B. Kita juga memerlukannya. Namun sosok-sosok seperti orang
jenius C idealnya lebih banyak. Harus lebih banyak dari sosok pengumpat dan
pengeluh. Setiap masalah yang timbul akan terasa mudah mengatasinya bersama
orang-orang jenius spiritual.
Berdasarkan nasihat Misbahul Huda untuk Syaamil Group
Foto: Freepik.com @khotcharak (Meremas kertas) user14996962 (Lilin)
Sepakat banget.. Orang tipe C jarang ditemukan, tapi bukan berarti g ada.
BalasHapusSuka sama analoginya
Terima kasih. Semoga kita semua bisa menjadi orang jenius itu
HapusYa Allah pengen rasanya jadi orang seperti B, setidaknya dulu sebelum banyakin ilmu menjadi orang C. Semoga dalam posisi sekarang saya sama sekali bukan orang A yang menjengkelkan.
BalasHapusSekarang banyak menanam dulu. Insya Allah besok-besok kita panen apa yg sudah ditanam hari ini dan kemarin
HapusHanya saja, orang seperti C adalah orang yang paling sedikit jumlahnya dibanding dua tipe lainnya. Omong-omong, saya juga lulusan teknik, Mas, hhe
BalasHapusHidup anak Teknik ^_^
HapusIya kebanyakan sekarang di medsos orang suka nyampah, mengomel saja tanpa solusi mungkin biar lega tapi malah spread the negativity ya buat aeklilingnya, toxic juga...
BalasHapusSebenarnya kalau cuma mau nyampah atau bahasa psikologinya katarsis, bisa dalam diary atau direkam untuk konsumsi pribadi aja sih... Tapi ini ada keinginan pengen dapat perhatian dari orang lain juga kayaknya
HapusNah, kk orang yg mana? aku mungkin tipe z. bodo amat dg masalah org, masalahku aja banyak. mudah2an dpt rezeki ketemu orang dg tipe c
BalasHapusTipe X. Tapi yang kayak selotip, bukan cairan gitu, ya
Hapusbenar sekali. semoga kita tidak termasuk golongan si A. walaupun biasanya A itu identik dengan nilai yang baik. hehe
BalasHapus