Langsung ke konten utama

Entri yang Diunggulkan

Mengingat Kembali Jawaban Pertanyaan Mengapa Ingin Memiliki Anak

Ada satu pertanyaan sederhana, namun tidak semua pasangan menikah dapat menjawabnya. Pertanyaan itu adalah, “mengapa ingin memiliki anak?” Bagi pasangan yang bertahun-tahun menikah namun belum juga dikaruniai anak, pertanyaan itu akan dijawab dengan lancar. Mereka sudah melewati ribuan hari tanpa tangis bayi, tiada canda tawa dengan anak-anak. Mereka menemukan banyak sekali alasan sehingga ingin sekali memiliki anak. Untuk pasangan yang sangat mudah dititipi anak oleh-Nya, pertanyaan mengapa ingin memiliki anak, bisa jadi terbersit pun tidak. Anak seolah hadir begitu saja. Baru saja menikah, beberapa bulan kemudian istri hamil. Setahun kemudian pasangan suami istri telah menjadi orang tua. Beberapa tahun kemudian, anak kedua, ketiga dan seterusnya lahir. Jawaban-jawaban berikut ini mungkin menjadi jawaban sekian orang tua saat mendapat pertanyaan tersebut: Saya ingin menciptakan kembali masa kecil yang indah Ngg…Semacam investasi untuk hari nanti Sebab saya percaya, kita akan m

Novelet Ketika Mas Gagah Pergi (KMGP) Bagian 2

Bagaimana kisah Mas Gagah dan Gita dalam Novelet Ketika Mas gagah Pergi Bagian 1? Mengharukan? Apakah kamu meneteskan air mata setelah membacanya?

Kisah Gita masih berlanjut. Kali ini ada tokoh baru, Yudi namanya. Apakah Yudi akan menggantikan posisi Mas Gagah di hati Gita. Silakan simak saja lanjutan kisah Ketika Mas Gagah Pergi ini...


Novelet Ketika Mas Gagah Pergi

Bagian 2 



Setahun kemudian…

Pagi itu aku kembali berlari-lari mengejar bus jurusan Pulo Gadung-Depok dengan seragam putih abu-abu.

Ya, sejak kami sekeluarga pindah dari Pasar Minggu ke Rawamangun, perjalananku menuju SMA Cendana jadi lebih lama. Bukan itu saja, aku yang terbiasa berjalan kaki ke sekolah kini harus berdesak-desakan dalam bus, menahan sabar saat macet, mendengarkan sumpah serapah kondektur bus pada beberapa mahasiswa yang selalu dikiranya karyawan, dan tiba di sekolah dengan perut mual serta kepala pening akibat supir yang ugal-ugalan dan suka mengerem mobilnya secara mendadak.

“Kamu nggak mau diantar saja, Gita? Capek loh di jalan. Apalagi kamu sudah kelas III,” tanya Mama.

Aku menggeleng. Sejak Mas Gagah meninggal, entah mengapa aku tak pernah mau naik sedan itu lagi. Hal yang akan semakin mengingatkanku pada masa-masa bersamanya….Lagi pula macet yang dahsyat selalu membuatku merasa lebih baik naik kendaraan umum.

Jadi begitulah, aku selalu berangkat lebih pagi. Jam setengah enam aku sudah berada dalam bus dan semua jadi lebih menyenangkan. Udara yang segar, jalanan lengang, Sopir dan kondektur yang belum stress, serta bangku-bangku yang belum seluruhnya terisi.

Asalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh! Salam sejahtera!”

Aku melihat ke depan. Para penumpang lain juga melakukan hal yang sama tanpa menjawab salamnya. Pengamen atau mau minta sumbangan nih?

Kulihat lelaki dengan kemeja kotak-kotak cokelat dan celana panjang krim. Ia menyandang tas hitam. Tak ada gitar atau kotak amal di tangannya. So, mau ngapain nih orang?

Aku melengos.

“Maaf bila kehadiran saya mengganggu kenyamanan bapak Ibu dan saudara-saudara. Tetapi ijinkanlah saya menunaikan kewajiban sebagai hamba yang telah diberikan setitik ilmu oleh Allah SWT, yang tentunya harus disampaikan setelah diamalkan.”

Lalu tiba-tiba saja ia mengucapkan basmallah, hamdalah…, serta syahadat. Lalu dilanjutkannya dengan ayat Al-Qur’an dan hadis. Kayak orang yang mau ceramah saja! Tetapi … aku tergetar. Suaranya merdu.

“Saudara-saudaraku, Bapak-bapak dan Ibu-Ibu…, sudahkah anda membaca koran pagi ini?” sapanya.

Tak ada yang menjawab. Lelaki itu tersenyum. Aku jengah. Tak habis pikir…, mau ngapain sih orang ini? Kutatap wajah dan sosoknya. Hampir tak berbeda dengan para mahasiswa pada umumnya. Tinggi, kurus, hitam berambut agak ikal dan berkacamata minus. Yaa lumayan manis deh….

“Mengapa banyak orang di negeri kita menjadi koruptor? Apa yang sebenarnya terjadi? Tidakkah kita malu, sebagai bangsa muslim terbesar di dunia, kita malah mendapat ranking tertinggi dalam korupsi? Bagaimana cara mencegahnya?”

Aku mulai terperangah. Orang-orang di dalam bus mulai mengatur duduk mereka lagi, mencari posisi yang lebih nyaman untuk…ini dia… mendengarkan lelaki aneh itu! Apalagi yang mau dia katakan?

Lelaki itu terus bicara. Dan lama-lama para penghuni bus, termasuk aku larut mendengar omongannya. Seorang bapak yang sebelumnya duduk terkantuk-kantuk di sampingku, kini duduk tegak dengan kening berkerut. Seorang mahasiswi yang duduk tak jauh di hadapanku terlihat memiringkan kepala dan memicingkan matanya. Dua pemuda berambut gondrong yang baru saja bermaksud mengamen segera mengurungkan niatnya, bahkan kondektur sesaat lupa menagih ongkos!

Wah, lelaki ini membuat semua terkesima!

“Berapa banyak orang miskin kian miskin karena perilaku korupsi skala kecil maupun besar. Bermula dari diri kita, keluarga dan sekitar, mari kita berjuang untuk menjadi pribadi yang lebih jujur, dan berahlak mulia. Jadi kesimpulannya, Islam itu indah, tetapi kita sebagai umat Islam, seringkali membuatnya tampak buruk. Kalau kita orang Islam, wajib malu dengan stigma korupsi yang melekat di negeri ini. Kebenaran itu mutlak milik Allah, dan bila ada kesalahan maka itu semata karena kekhilafan saya. Billahi fisabililhaq. Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.”

Wa’alaikum salaaaaaaammm!”

Kudengar hampir seluruh penumpang bus menjawab salamnya diiringi dengan tepukan tangan.

“Minggu! Minggu! Minggu!” teriak kondektur.

Aku bergegas turun. Di depanku, lelaki orator itu telah melompat lebih dulu dan segera hilang ditelan keramaian.

“Tadinya saya kira dia mahasiswa gila. Nggak tahunya anak cerdas berbudi! Hebat dia!” seru seorang bapak yang sempat kudengar.

Jam 06.00. Aku baru saja membuka buku sosiologiku sambil menikmati semilir angin pagi ketika sebuah salam menyapa seluruh penumpang bus yang masih tampak terkantuk-kantuk….

Lelaki itu lagi! Kali ini ia mengenakan kemeja kotak-kotak hijau dan menyandang ransel.

“Maaf, saya mengganggu perjalanan Anda semua,” katanya tersenyum. “Sesungguhnya orang yang ‘laisa minal khoisirin’ atau bukan termasuk orang-orang yang merugi adalah mereka yang senantiasa nasehat-menasehati dalam keadaan apa pun.”

Kututup buku sosiologiku. Penasaran.

“Ibnu Umar pernah berkata: “Aku datang kepada Nabi SAW, maka bertanyalah seorang pria Anshor: Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling bijaksana dan paling mulia?” Maka Nabi Saw menjawab: “Orang-orang yang paling banyak mengingat mati dan gigih berusaha untuk persiapan menghadapi mati, merekalah orang-orang yang bijaksana sehingga mereka itu nantinya pergi dengan membawa kemuliaan dunia dan keutamaan akhirat,” demikian hadist riwayat Ibnu Majah. Maka kembali pada diri kita, sudahkah kita siap menghadapi kematian yang pasti datang? Dalam Al-Qur’an dikatakan kita tak akan bisa lari daripadanya. Bahkan saudaraku, bisakah kita menjamin bahwa esok kelak kala matahari terbit kita masih hidup?”

Hening. Yang terdengar cuma deru mobil dan suara teriakan kondektur bus. Aku tergetar. Ah, mati. Mengapa lelaki ini bicara soal mati? Hal yang sudah lama tak lagi kupikirkan sejak Mas Gagah pergi….

Lelaki itu terus bicara. Suaranya yang keras bersaing dengan deru bus dan hingar bingar jalan raya. Tapi ia seolah tak peduli. Kini kutangkap ketulusan, juga semangat yang menyala-nyala dalam dirinya.

“Minggu! Minggu!”

Setelah berpamitan pada semua penumpang, seperti biasa ia turun. Sebelumnya kudengar suara seorang Ibu. “Saya kira anak tadi ceramah terus minta duit…, nyatanya kok enggak ya, padahal saya sudah siapin!” katanya tak mengerti sambil memasukkan kembali selembar ribuan ke dalam tasnya. Beberapa kepala yang lain manggut-manggut.

Upss! Mestinya aku turun juga di Pasar Minggu. Yaaa, kelewatan deh! Habis, lelaki itu hari ini membuatku harus mengusap airmata. Mati. Kata-kata itu terngiang terus setelah aku sampai di sekolah!

“Memangnya orang itu ngapain? Iseng banget?” tanya Tri teman sekelasku, di kantin sekolah.

“Ya ceramah!” kataku sewot. Dari tadi aku sudah ramai cerita….eee Tri malah telmi!

“Orang kan ceramah di masjid, di mushala. Masak di bus!? Terus penumpang dimintain duit berapa?” tanyanya sambil meminum teh botolku.

“Kan tadi udah aku ceritain, dia nggak pernah minta duiiit!” bibirku maju beberapa senti, dan tanganku merebut kembali teh botolku tepat sebelum Tri menghabiskannya.

“Jangan marah dong, Non. Kayaknya kamu kesengsem sama cowok tak bernama itu ya?” Tri cengar-cengir. “Memangnya dia keren? Seperti siapa? Seperti Nicholas Saputra, Dude Herlino? Atau seganteng almarhum Mas Gagah?”

Aku menarik napas panjang. Tri…Tri….

“Maaf Gita, maaf…aku nggak bermaksud mengingatkanmu pada almarhum…,” tukas Tri seperti mengerti pikiranku.

“Assalaamu’alaikum!”

Aku menoleh. Tika!

“Kalian berdua tidak ikut rapat rohis? Hari ini ada beberapa program yang akan kita bicarakan lho,” kata Tika sambil duduk di sampingku.

“Oh iya, Tik! Aku malah ada usulan yel untuk rohis baru kita!” seruku seperti ingat sesuatu. Wajah Bang Ucok, Bang Urip, Kang Asep dan Mas Gagah melintas di hadapanku.

“Oh ya?” wajah Tika berseri. “Seperti apa yel-nya? Teman kita yang laki-laki juga belum dapat tuh yel rohis.”

Tri pun menatapku ingin tahu.

Aku melihat sekeliling. Sudah lumayan sepi. Saatnya beraksi. “Nih, kayak gini nih yel -nya!” Aku berdiri tegak menghadap mereka, lalu berteriak keras , “Rohis Cendana!” Setelah itu aku melompat lompat sambil mengepalkan tangan ke atas: Huh huh huh huh: Istiqomah!”

Tika dan Tri memandangku aneh.

“Itu tadi apaan, Git?” Tanya Tika.

Ah, mereka memang tak tahu yel keren. Sangat tidak apresiatif. Mereka malah geleng-geleng kepala.

“Dasar kelakuan! Dah pakai jilbab, masih aja preman!” seru Tri padaku.

Tika tergelak.

O…o!

Hari itu, pulang sekolah, Tri mengajakku dan Tika mampir ke rumahnya di Depok I. Sambil menyelesaikan paper Sosiologi, kami melanjutkan obrolan tentang “makhluk aneh dalam bus itu”. Tapi sepertinya Tri lebih tertarik membicarakan Bob, anak basket idola cewek-cewek Cendana.

Akhirnya tak lama aku pulang. Kali ini naik kereta Jabotabek. Aku biasa turun di Cikini dan dengan menyambung sekali kendaraan sudah bisa sampai di rumah.

Kereta melaju dan bergoyang-goyang. Aku menyelusuri gerbong demi gerbong, mencari tempat yang agak nyaman. Seperti biasa angkutan rakyat ini benar-benar berjubel. Semua jenis manusia dengan beragam profesi ada di sini. Mahasiswa, pedagang asongan, dosen, karyawan, karyawati, pengangguran, pencopet, dan tentu saja… para pengemis yang selalu ‘memeriahkan suasana’!

Bau keringat, bau sampah. Suara makian, batuk. Lalu ludah dan dahak yang dibuang sembarangan, tangisan bayi, kerincingan para pengamen….

Sampai di gerbong ke empat…ya ampun! Aku terkejut sekali! Si Mas Kotak-kotak (kemejanya selalu kotak-kotak) itu ada di situ! Dan seperti biasa, ia sedang ceramah!

Suaranya di ujung gerbong tak begitu terdengar dari tempatku berdiri kini. Aku maju mendekat. Kebetulan ada bangku kosong tak jauh di depan Si Kotak-kotak. Dan dengan cueknya aku duduk. Sungguh, aku ingin mendengar apa yang dikatakannya.

“Jadi untuk apa kita hidup? Sebagai muslim, kita harus punya jawaban pasti untuk pertanyaan tadi,” katanya.

“Hidup ya untuk makan, menikah dan bayarin sekolah anak-anak!” kata seorang bapak tua bergigi ompong, pedagang jambu yang duduk di dekat pintu, disambut gerrr yang lain dan gemuruh suara kereta.

Si Kotak-kotak Merah Hati tersenyum.

“Hidup itu ya untuk berusaha…,” kataku tiba-tiba dengan suara keras.

“Ya, adik betul! Berusaha untuk senantiasa mengabdi kepadaNya. Di surat Adz-Dzariyat ayat 56 Allah bersabda: Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah, mengabdi kepadaKu!”

Aku menunduk. Kena lagi gua!

Entah apa namanya. Kebetulan barangkali. Tetapi hari terus berlalu dan hampir setiap hari aku bertemu dengan lelaki tak bernama yang selalu memakai kemeja kotak-kotak itu. Di bus, dalam kereta… bahkan yang bikin aku heran bukan kepalang, aku pernah bertemu dengannya kala tak sengaja menyusuri rumah-rumah triplek di sepanjang kali Ciliwung! Pernah juga di Tanah Abang, lalu di Pekan Raya Jakarta saat aku, Mama, dan Papa ke sana! Kebayang nggak sih? Di PRJ dia ceramah ini sambil menggelar buku-buku agama.

“Buku ini berapa, Nak?” tanya seorang bapak tua berbaju lusuh bersandal jepit sambil memegang buku tentang sholat tersebut.

“Mengapa Bapak memilih buku itu?”

Si Bapak tersenyum malu. “Saya ingin menjaga shalat saya. Selama ini belum benar.”

“Ambillah, Pak. Semoga bermanfaat. Saya berikan untuk Bapak.”

Si Bapak terpana. Langsung mendekap buku tebal karangan Al-Ghazali itu dengan haru.

“Sekarang boleh saya meminta buku tentang warisan ini?” tanya seorang Ibu berpakaian bagus. Wow, silau juga aku memandang perhiasannya.

“Silakan Ibu letakkan uang infaqnya di kaleng ini seikhlas Ibu. Insya Allah untuk disalurkan pada orang yang berhak menerimanya,” seru Si Kotak-kotak.

Begitulah. Di mana ia berada di sana selalu banyak yang memperhatikannya. Wajar. Habis yang diangkat menjadi bahan pembicaraan selalu yang menarik, seru, aktual dan hebat. Belum lagi manuvernya.

Lelaki berkemeja kotak-kotak itu juga sangat unpredictable dan berani. Pernah kami sama-sama di dalam miniarta yang padat. Hampir tak ada celah, sesak sekali. Ia bahkan tak menyampaikan tausiyahnya seperti biasa. Tiba-tiba saja terjadi keributan. Dalam gerak cepat kulihat lelaki itu mencengkeram tangan seorang pemuda berbaju rapi.

“Kembalikan handphone ibu itu!” katanya tegas, pada pemuda tersebut, sambil memegang tangan si pemuda yang mencoba menyembunyikan sebuah ponsel.

Para penumpang langsung ribut dan berteriak-teriak, “Copeeet! Copeet! Gebukin aja, Bang! Habisin! Habisin!” beberapa pemuda mencoba merangsek maju seakan ingin membantu Si Kotak-kotak!

“Tahan!” teriak Si Kotak-kotak. “Bu, ini hape ibu. Lain kali hati-hati,” ujarnya.

Si Ibu yang diajak ngomong bengong. “Lah kapan diambilnya?” gerutunya sambil menerima benda itu kembali. “Nah iya ini hape saya! Dasar copet!”

Beberapa orang mendekati si pencopet, sepertinya ingin menghakimi. Lalu tiba-tiba sebuah pukulan mendarat di wajah pencopet itu!

“Tahan, Bang! Tahan!” teriak si Kotak-kotak lagi. “Pak Sopir, berhenti, Pak!”

Saat miniarta berhenti Lelaki itu menarik si pencopet turun. “Kamu harus bertanggungjawab,” katanya.

Beberapa lelaki ikut turun.

Miniarta lalu melaju. Dari kaca belakang miniarta kulihat Si Kemeja kotak-kota berusaha mencegah amuk beberapa pemuda. Ia merangkul pencopet itu dan mengajaknya entah kemana.

Semoga insyaf tuh orang, pikirku. Syukur saja tak jadi bulan-bulanan.

Soal Si Kotak-kotak, terus terang aku makin penasaran pada pribadinya. Siapa dia? Siapa orangtuanya? Kuliahkah, pengangguran atau sudah bekerja? Di mana rumahnya? Dan mengapa ia seakan sangat mirip dengan seseorang yang dekat denganku?

Pertanyaan itu belum juga terjawab hingga aku diterima di Fakultas Ilmu Budaya UI!

“Palestina masih terus berjuang untuk kemerdekaan mereka. Di negeri itu, semua yang menentang penjajahan disebut teroris, bahkan bocah-bocah yang membawa batu melempari tentara Israel. Dan dunia diam. Mengapa? Karena korbannya muslim? Jadi berapa pun yang tewas tak ada yang peduli? PBB cuma mengaku bersimpati. Amerika cuma jago menghimbau, sementara negeri-negeri Islam berpecah belah. Wahai kaum muslimin Indonesia, dimanakah kalian? Tidakkah kita sempat untuk sekadar mendoakan mereka?”

Ramadhan, jelang berbuka puasa. Di dalam kereta api Jabotabek dari kampus menuju Cikini, kulihat airmata mengambang di pelupuk mata lelaki tak bernama itu. Ia masih seperti dulu. Aneh, tapi kharismatik. Dengan semangat yang tak surut sedikit pun. Bahkan pada saat puasa begini ia membuatku ingin menangis.

“Ramadhan seperti apakah yang dilalui saudara-saudara kita di Palestina? Tahukah Anda, pada Ramadhan mulia ini kebiadaban dan kekejian terus digelar di sana? Apa yang terjadi melebihi tragedi Nazi. Para bocah kehilangan tangan dan kaki, para pemuda dan wanita juga dibantai, rumah-rumah mereka dirobohkan dan tanah mereka dirampas, sementara kita di sini masih tertawa-tawa tak percaya.”

“Darimana kamu tahu tentara Israel lebih kejam dari Nazi?” kejar seorang bapak—sepertinya dosen—dingin.

Si Kotak-kotak mengeluarkan berbagai kliping surat kabar dan majalah, lengkap dengan foto-foto yang telah diperbesar. “Lihatlah sendiri. Saya mengumpulkannya dari berbagai majalah internasional. Silakan anda lihat! Pertanyaan saya cuma satu. Adakah ukhuwah Islamiyah yang masih tersisa di dada kita? Bahkan kita kalah reaktif dengan rakyat Amerika Serikat yang bila ada satu saja warga negaranya tewas di Irak atau hilang di Indonesia, pemberitaan begitu gencar dan simpati dunia segera mengalir. Tapi ribuan saudara kita dibantai kita bahkan tak mengetahuinya….”

“Kenapa kita harus memikirkan Palestina? Jauh amat. Pikirin yang dekat-dekat saja dulu. Nih negeri kita yang semakin miskin dan kacau…,”nada sinis seorang pemuda gondrong. “Palestina dipikirin. Kayak nggak ada kerjaan….”

Lelaki berkemeja kota-kotak itu menghampiri si Pemuda. “Abang betul,” katanya. “Prioritas kita adalah saudara-saudara kita satu bangsa, satu tanah air. Satu daerah, satu RT, pera tetangga kita! Kita tak boleh mengabaikan mereka. Apa yang bisa kita lakukan untuk meringankan beban saudara-saudara kita di sini, harus disegerakan, karena ada hak-hak atas mereka dalam diri kita yang harus ditunaikan.”

Si Gondrong menatapnya tajam.

“Tetapi Islam mengajarkan kita, untuk berbuat maksimal. Di mana pun kita berada, itu adalah bumi Allah, termasuk Palestina. Di sana sedang terjadi penjajahan biadab puluhan tahun. Kita tak usah bicara Islam, bicara nilai-nilai kemanusiaan yang Abang anggap lebih universal. Apakah kita akan menjadi bangsa yang bungkam atas nasib bangsa lainnya? Bukankah Indonesia adalah negeri yang tak pernah mentolerir penjajahan? Lagi pula, secara historis, ada warisan Islam, Masjid Al Quds, tempat Nabi Muhammad SAW Isra-mi”raj yang sedang terancam hancur. Siapa yang akan peduli? Lalu karena alasan Indonesia belum makmur, kita tak boleh menengok nasib mereka? Sekadar mendoakan dari jauh pun tak mau? Lihat, dalam kesengsaraan mereka warga Palestina masih setia membantu kita setiap kali negeri kita dilanda bencana. Dan itu mereka lakukan sejak sebelum kita merdeka dulu!”

Si Gondrong diam, mengusap-usap pipinya.

“Ya, adik benar,” suara orang yang tadi kuduga dosen.

Aku mengusap mataku yang mulai berembun. Kulihat beberapa orang di sekitarku juga tampak seperti disentakkan dan terenyuh.

“Saya ingin menyumbang…,” kata seseorang. “Bisa lewat adik?”

“Tidak. Tapi pergilah ke yayasan-yayasan Islam atau Bulan Sabit Merah Indonesia. Alhamdulillah, Allah menggerakkan hati Bapak.”

Kereta terus melaju. Berguncang-guncang. Melonjak keras. Seperti hatiku, setiap kali mendengar kata-kata lelaki tak bernama itu.

“Oh ya, ini memang tak seberapa, tetapi lumayan untuk berbuka puasa,” sekitar lima menit sebelum adzan lelaki itu membagi-bagikan kurma pada para penghuni gerbong yang mulai resah mencari-cari makanan.

“Silakan, Dik,” ujarnya ramah padaku yang terbengong-bengong.

Ada sih orang kayak gini?!

Aku sering bertemu Si Kotak-kotak itu hingga aku lulus SMA dan diterima di Fakultas Ilmu Budaya UI. Beberapa kali kutemukan ia tengah berada di UI. Apa ia juga kuliah di sini? Aku tak bisa memastikannya. UI terlalu luas. Bahkan fakultas satu dengan yang lain berjarak cukup jauh dan biasanya di tempuh dengan bis kuning, meski masih satu lingkungan. Dan mahasiswanya…, banyak sekali. Aku sendiri memasuki tingkat dua memutuskan untuk kos. Capek juga pulang balik naik bus atau kereta tiap hari.

Akhir semester lalu, aku masih ingat. Hari itu aku baru pulang ujian dan berniat mampir di Kantin Kukusan, dekat tempat kos –untuk membeli nasi bungkus. Tiba-tiba kudengar suara seseorang. Suara yang keras, tegas, berwibawa dan enak didengar. Begitu kukenal. Ah, kutepiskan pikiranku dan masuk ke dalam kantin. Di depan pintu aku terpaku.

Belasan orang duduk tak teratur menghadap seseorang yang berdiri di sudut ruangan. Si Mas Kotak-kotak tak bernama itu! Dan di sekitarnya… ya ampun, cowok semua! Kecuali pelayan rumah makan yang juga sedang terbengong-bengong! Kutarik napas panjang, dasar nasib, udah tahu markas cowok teknik, nekat juga. Ya, cueklah! Namanya juga orang lapar!

“Namanya Dr. Alexis Carrel. Ia peraih Nobel dalam bidang kedokteran tahun 1912, dan direktur riset Rockfeller Foundation. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa berdoa bisa menjadi sumber aktivitas terbesar bagi anggota tubuh kita. Sebagai dokter, ia melihat kebiasaan berdoa bagaikan tambang radium yang menyalurkan sinar dan melahirkan kekuatan diri.”

“O ya? Begitu ya, Bang?” tanya seorang cowok sambil menggeleng-gelengkan kepalanya diiringi decak kagum.

Aku masih terpaku di pintu.

“Eh, nasinya keburu dingin nanti! Ayo kita makan. Rasulullah saja tak pernah membiarkan makanan menunggu lho!” ujar si kotak-kotak memecahkan suasana yang sesaat hening.

“Eh iya, Bang…memang sudah lapar kali ni,” ujar seseorang yang tepat berada di depan si kotak-kotak dalam dialek Sumatera Utara.

“Tapi jangan lupa, setiap kali kita bisa menjumpai makanan, selain bersyukur, kita juga harus ingat saudara-saudara kita yang dhuafa di negeri ini…”

“Waaaah tak bisa makan aku nanti, Bang,” seru si logat Sumatera Utara tadi.

“Para tetangga terdekat kita…,” Si Kotak-kotak tersenyum. “Jangan sampai kita makan, mereka tak makan….”

“Makin tak bisa makanlah, Bang…,” lelaki di depan si Kotak-kotak itu kebingungan sendiri. Cengengesan.

Si Kotak-kotak tertawa. Dipegangnya pundak orang itu akrab, “Kita juga harus makan, Dik. Sebab Allah lebih menyukai muslim yang kuat daripada yang lemah,” kata lelaki tak bernama itu bijak. Dengan tubuh yang sehat, kemungkinan kita menolong mereka lebih besar bukan?”

Hening. Aku tercengang lagi. Wong cowok-cowok kantin di sini biasa senengnya godain kita-kita sambil main gitar, terus sekarang memasang mimik sedih?

“Mbak, nasi sama semur dagingnya!” teriakku dari depan pintu. Maklum, perut sudah melilit… ee si mbaknya asyik senyam-senyum sambil memandang Si Mas Kotak-kotak.

“Mbaaaaak!” teriakku. “Nasi sama semur daging!”

Kontan semua memandangku, termasuk Si Kotak-kotak.

Aku tergagap. Masuk pelan-pelan. Segera mengambil nasi bungkusku dan berlari. Salah sendiri masuk ke kandang macan, weeeeee!

“Apaan, Mbak?” ulang si pelayan kantin Kukusan dengan suara keras.

“Ssssssst, jangan teriak gitu dong! Saya cuma mau nanya. Mas yang kemarin makan di sini, yang pakai baju kotak-kotak ungu muda itu namanya siapa?”

“Yang ceramah? Yang bikin kantin saya laris?”

Aku mengangguk cepat.

“Wah, saya juga ndak tahu tuh, Mbak. Dia jarang kok makan di sini? Memangnya kenapa sih? Situ naksir, ya?” berondongnya.

Aku menghela napas dan segera berlalu.

“Sama dong, Mbak! Kita juga naksir!” teriak si pelayan itu. “Saingan ni yeee!”

Aku cemberut. Ember tuh orang! Siapa yang naksir? Emangnya kita cewek apaan. Sewot betul aku! Aku kan cuma penasaran! Bayangkan! Sudah lama aku melihat Si kotak-kotak itu berkeliaran…bahkan namanya saja aku tidak tahu! Wajar dong penasaran!

Sekian lama aku tak bertemu Si Mas Kotak-kotak. Kebetulan aku juga sibuk di kampus, apalagi teman-teman di Forum Amal dan Studi Islam (FORMASI) benar-benar melibatkanku dalam banyak kegiatan. Aku sendiri baru ikut kegiatan itu setahun lalu. Apa ya, motivasinya? Yaaa, pengen jadi orang yang lebih baik aja… sekaligus ingin lebih dalam lagi mengenal Islam dan umatnya di bumi ini seperti… Mas Gagah dan…lelaki tak bernama itu. Ah, jujur. Secara tak langsung, setelah Mas Gagah tiada, semangat untuk belajar Islam memang kembali kudapat dari dia. Orang yang tak kukenal sama sekali!

“Gita, jangan lupa lho…, total uang yang kuberikan padamu tiga juta rupiah. Lalu dua puluh kardus mie instan, lima kardus baju bekas dan tiga karung beras!” suara Tutut , sahabatku di jurusan, mengagetkanku.

“Iya, aman!” Seruku sekenanya.

“Sip!” Tutut tersenyum dan berlari meninggalkanku.

Lelaki kotak-kotak tak bernama itu sekarang ada di mana ya? Semoga Allah selalu memberi kekuatan padanya. Aku jadi ingat Tutut pernah cerita ada seorang teman kakaknya yang sejak SMP dan SMA menjuarai berbagai lomba pidato sampai lomba debat tingkat nasional. Sekarang dia sering memberikan ceramah dimana-mana bahkan tanpa dibayar dan dipinta.

“Tempatnya juga nggak lazim. Di bus, kereta, restoran, panti-panti, nggak jelas deh. Tapi orangnya tulus dan rendah hati sekali.”

“Namanya, Tut? Terus kuliahnya di mana? Dia suka pakai baju kotak-kotak ya?”

Tutut mengernyitkan dahi. “Ada apa nih?” tanyanya nyengir. “Ayo, berhati-hatilah dengan hatimu…,” katanya waktu itu sambil melirik penuh arti dan menghentikan informasi.

Yaaa, penonton kan kecewa. Tapi Tutut benar. Kenapa sih aku terlalu ingin tahu dengan sosok misterius itu? Apakah karena sosok itu mengingatkanku pada…Mas Gagah?

“Gita, ayo berangkat! Panggilin teman-teman yang lain!” teriak Eki dan beberapa kawan membuyarkan lamunanku.

Yap. Aku mengangguk dan segera berkemas.

Tak lama aku dan anak-anak FORMASI sudah menuju daerah Tanah Tinggi untuk memberikan bantuan bagi korban kebakaran besar di sana.

Setelah sampai, kami semua dengan mengenakan jaket kuning segera mengeluarkan barang bantuan dan disambut oleh beberapa pemuka warga dengan haru. Tangisku hampir pecah melihat bayi dan balita tidur beralaskan tikar di atas reruntuhan rumah mereka yang terbakar.

“Warga yang lain kemana, Pak?” tanya Eki heran.

Aku melihat sekeliling. Kok sepi ya….

“Iya nih, lagi pada ngaji di bedeng. Ayo deh Bapak antar ke sana,” kata seorang bapak ramah.

Kami semua berjalan menuju sebuah bedeng triplek yang terkesan dibangun asal jadi.

“Ayo, masuk, Nak!”

Di dalam bedeng sekitar seratus orang lebih sedang mendengarkan ceramah. Aku duduk perlahan, menatap ke depan dengan pandangan tak percaya.

“Jadi musibah bisa jadi adalah ujian dari Allah atas keimanan kita. Di dalam hadis dikatakan bahwa bila ada seseorang yang kena musibah, walau hanya tertusuk oleh duri, niscaya dosanya akan dikurangi oleh Allah.”

Lelaki dengan kemeja kotak-kotak itu terus bicara. Wajahnya teduh. Ya Allah, kenapa orang ini senantiasa bersegera dalam kebajikan? Kenapa ia selalu hadir lebih dulu? Kenapa ia begitu mirip? Wajahnya tak seganteng Mas Gagah. Bukan wajah yang mirip…mungkin perangai…atau….

“Rasulullah Saw berkata bahwa kefakiran itu dekat dengan kekufuran. Karena itu meski kita miskin harta, hendaknya tetap kaya iman. Jangan sampai sudah kita miskin di dunia, banyak berbuat maksiat pula, hingga kelak melarat di akhirat. Na’udzubillahi min dzalik.”

Kulihat para warga serius mendengar. Sesekali mereka mengangguk-angguk.

“Demikian dulu dari saya. Saya mohon maaf bila ada kata yang salah. Sesungguhnya kebenaran itu dari dan milik Allah semata. Semoga Allah senantiasa meneguhkan hati dan persaudaraan kita. Marilah kita saling mendoakan.”

Usai mengucap doa dan salam lelaki itu bangkit.

“Tunggu! Siapakah nama anak? Saya juga ingin mendoakan anak…,” kata seorang Ibu tua tiba-tiba.

Aku tersentak. Ya, siapakah namamu?

Lelaki itu tersenyum. “Nama saya Abdullah, Bu. Saya bukan siapa-siapa dan saya pun akan mendoakan semua yang ada di sini. Assalamu’alaikum.”

Pemuda itu pun bergegas pergi setelah bersalaman dengan beberapa pemuka warga.

“Baiklah, sekarang kita kedatangan adik-adik dari UI,” kata seorang bapak berpeci. Tepuk tangan kembali bergema mengiringi kehadiran Eki dan kawan-kawan FORMASI di hadapan warga.

Tetapi mataku tertuju keluar. Memandang lelaki itu hingga ia menjelma titik kecil dan menghilang di kejauhan.

Abdullah? Betulkah itu namanya? Mas Gagah-ku yang muncul kembali?

Senja ini, aku memang berniat pulang ke rumah. Kangen sama Mama Papa. Di stasiun UI aku bersungut-sungut. Kereta api Jabotabek yang sejak tadi kutunggu, tak muncul juga. Eeeh, setelah satu jam menunggu akhirnya terdengar pengumuman: KRL tak dapat beroperasi karena listrik mati! Geregetan. Kontan aja aku putar arah. Jalan kaki ke Kober lalu menyambung naik bus.

Baru saja aku menginjakkan kaki ke atas bus, kulihat Si Mas Kotak-kotak duduk tepat di paling depan. Kuedarkan pandangan ke sekeliling mencari bangku kosong. Sia-sia. Penuh semua!

“Silakan, Dik!” suara Si Kotak-kotak!

“Makasih, Mas Abdullah.” Ups, aku kelepasan! Sok akrab banget. Sepintas kulihat dia mengerutkan kening.

O…o!

Aku menunggu-nunggu lelaki ini bicara seperti biasa. Tetapi ia tampak tenang-tenang. Hanya sesekali badannya limbung karena Pak Sopir kerap mengerem mendadak. Sampai di Lenteng Agung, kulihat lelaki itu pindah ke depan.

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” sapanya. Dan kemudian seperti hari-hari kemarin kudengar dan kucermati kata-katanya.

“Fii ahsani taqwim. Artinya Allah menciptakan kita dengan sebaik-baik bentuk. Anda merasa pesek, jereng, tonggos, jerawatan, hitam legam? Merasa jelek? Tak perlu demikian. Percayalah anda harus tetap bersyukur karena itu sebaik-baik bentuk Anda. Amalan anda yang akan membuat Anda lebih ganteng dan cantik, terutama di hadapanNya. Dan sebaik baik manusia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Jadi sudahkah kita bersyukur atas keberadaan kita hari ini?”

Orang-orang di bus memandang lelaki ini serius sambil manggut-manggut, beberapa cengengesan. Aku juga. Lelaki itu terus bicara diiringi deru kendaraan.

“Mari sama-sama arif memandang apapun,” ujar lelaki itu lagi. Cobalah memandang sesuatu tidak hanya dari sudut pandang Anda, tetapi dari sudut pandang orang lain dan Tuhan.”

“Sudut pandang Tuhan seperti apa itu?” celutuk seorang Bapak.

“Apa yang tertulis di kitab suci, diriwayatkan hadis dan dicatat oleh nurani kita, insya Allah,” katanya sambil tersenyum.

Tanpa terasa bus yang kami naiki sudah memasuki Pasar Minggu. Tiba-tiba jalan bus terhenti, di hadang kerumunan pelajar putih abu-abu! Mereka berteriak-teriak Ada yang mengacung-acungkan pisau, golok, rantai, clurit juga… samurai! Tubuhku langsung lemas.

Aku dan para penumpang lain serba salah. Turun atau bertahan di bus? Bisa-bisa kami kena batu nyasar!

Jantungku berdebar cepat! Ya ampun, mana nih pak polisi! Aksi para pelajar itu brutal sekali! Mereka saling lempar dan saling baku hantam!

PRANNNGGG! PRANNNGGG!

Kaca jendela yang berada tepat dibelakangku pecah porak-poranda. Seorang Ibu mengaduh memegangi pelipisnya yang berdarah!

“Serbuuuuuuuuuu! E… eh…, mau kemana lu! Jangan lari! Bangsattt!”

Ya Allah, seorang pelajar dengan tubuh berdarah naik ke atas bus ini. Aku bingung harus bagaimana. Pelajar itu mencari-cari tempat sembunyi.

“Hei! Gila! Kenapa naik ke sini? Bisa-bisa kami yang jadi sasaran!” teriak seorang bapak panik. Sementara seorang wanita memeluk bayinya erat-erat.

“Sa… ya bisa… mati… kalau… tu… run…,” kata pelajar itu lemah.

Si Mas Kotak-kotak segera memapah anak itu bersembunyi di antara bangku.

“Eh, mane die?! Hajarr! Bunuhh!

“Pak, jalanin bisnya!” teriak seorang Ibu panik.

“Nggak bisa, Bu! Mereka bergerombol di depan!” bentak Pak Sopir tak kalah panik.

DUG! DUG!

PRANGGGG! PRRANNGG!

Segerombolan pelajar naik ke dalam bus membawa berbagai senjata. Pengecut! Beraninya ramai-ramai! Sungguh aku ingin meludahi anak-anak tengil ini!

“Mane tuh anak?! Periksa-periksa!” teriak mereka.

Seluruh penumpang bergidik.

“Adik cari siapa?” Suara penuh kesejukan itu bergetar.

“Minggir lu! Jangan ngalangin gue kalo nggak mau mampus!”

Lelaki dengan kemeja kotak-kotak hijau itu beristighfar.

“Nie die, Coy! Gue temuiin! Ni die!”

“Hajarrrr! Tusuk!”

Para pelajar itu maju dan… aku serasa tak berpijak di bumi… mereka membacoknya! Seluruh penumpang histeris!

“Tahan! Berkacalah, bagaimana kalian bisa membunuh saudara sendiriii…?”

CRESH….

“Aaaaa!” aku terkejut.

Lelaki berbaju kotak-kotak…, Mas Abdullah jatuh tersungkur sambil memegangi dadanya. “A…dikku…, bagai…mana…kali…an bisa… berbuat… begi…ni,” gumamnya pedih.

Aku bangkit dari tempat duduk dan berteriak histeris. “Polisiiii! Polisiiii! Paaaak, cepat kemariiiii!” teriakku.

Para remaja itu berhamburan keluar bus setelah mereka merampas tas Mas Abdullah. Salah satunya, yang paling tengil sempat kutendang dari belakang!

“To…long…, tolong mereka…,” kataku memelas pada para penumpang.

“Tunggu… polisi!” teriak seseorang ketakutan.

“Polisi belum datang! Tadi saya pura-pura!” teriakku panik.

“Cepat keluarkan mereka!” Suara seseorang.

Aku menoleh. Seorang pemuda bergegas ke arahku dan membantu membopong Mas Abdullah dan anak sekolah yang terluka itu. Aku seperti mengenalnya….

“Kamu….”

“Saya Manto, Mbak…,”ujar pemuda itu.

Kuhirup napas dalam-dalam. Aku merasa pernah melihatnya. Tapi itu tak penting. Yang paling penting adalah segera menolong Mas Abdullah dan pelajar itu. “Saya Gita,” tukasku. Lalu aku, pemuda itu dan dua lelaki separuh baya turun mencari bantuan.

Jalanan mulai sepi. Hanya batu-batu, ceceran darah dan pecahan kaca di sekitar. Dari jauh kudengar sirine polisi.

Kuhentikan dua buah taksi.

Ayo, Pak! Masukkan mereka!” teriakku pada yang membopong.

“Saya nggak megang uang, Neng!”

Kukeluarkan dompetku. “Saya yang bayar! Rumah sakit terdekat, Pak!” aku masuk ke dalam taksi. Sementara si pemuda rapi tadi di taksi yang lain bersama pelajar yang terluka itu. “Biar mbak, saya ada uang untuk bayar taksi,” katanya.

Barulah aku menyadari, pemuda rapi itu adalah pria yang waktu itu tertangkap tangan Mas Abdullah sedang mencopet handphone di miniarta.

“Ia membantu saya berubah…,” katanya seperti tahu pertanyaanku.

Subhanallah. Tak ada waktu. Kami bergegas.

Taksi melaju. Kudengar lelaki yang entah mengapa kini kuanggap saudaraku itu berzikir satu-satu.

“Tahan ya, Mas. Insya Allah, kita segera ke rumah sakit!” Tiba-tiba bayangan Mas Gagah melintas di hadapanku. Apakah nyeri seperti ini yang ia rasakan dulu? Mengapa orang baik yang selalu menjadi korban? Aku menggigil.

Sesampainya di RS, kedua korban segera dimasukkan ke UGD. Aku resah menunggu, juga bingung. Ketika petugas menanyakan nama Si Mas Kotak-kotak, aku cuma sebut Abdullah.

“Identitasnya ada, Mbak?”

“Saya juga nggak kenal, Bu. Tadi tasnya diambil pelajar-pelajar brengsek itu!” tegasku. Kasihan Mas Kotak-kotak. Malah dia belum sadar….

Aku mencari pemuda rapi tadi. Di mana dia?

“Suster lihat pemuda yang bersama saya tadi membawa korban?”

“Iya mbak, tapi ia tadi terburu-buru, katanya sudah terlambat ke tempat kerja. Ia menitipkan ini pada mbak.

Mbak, maaf saya buru-buru. Sumpah, saya sudah tidak jadi pencopet lagi. Lewat dia saya dapat hidayah. Semoga Allah melindungiNya. Besok insya Allah saya ke sini lagi. Manto.

“Adik yang tadi dalam bis?”

Aku terperanjat. Polisi….

Aku mengangguk. “Ya, saya Gita.”

“Ikut ke kantor kami untuk memberi keterangan.”

Dua hari aku bolak-balik kampus-kantor polisi. Diantaranya untuk menjadi saksi siapa pelaku penusukan. Demi kebenaran, aku menurut. Pelaku penusukan yang berwajah bengis itu pun sudah diamankan.

Dan hari ini, ketika aku kembali ke Rumah Sakit untuk menjenguk, aku terperanjat.

“Sudah meninggal kemarin, Mbak….”

“Apa?”

“Pelajar yang kena tusuk sudah meninggal.”

“Saya nanya yang satu lagi, yang masuknya bareng sama pelajar itu!”

Sang suster mengangguk-angguk. “Ooo, baru setengah jam yang lalu dijemput keluarganya dan pemuda yang kemarin bersama mbak kemari. Lukanya tidak terlalu parah. Ia juga berpesan untuk menyampaikan terimakasih kepada mbak yang sudah menolongnya.”

Aku mengangguk dan menggigit bibir. Tanpa terasa buliran bening menetes membasahi pipiku. “Terimakasih, Suster,” ujarku pelan. “Terimakasih Allah, ia tak pergi secepat Mas Gagah….”

Begitulah ceritanya. Hari, minggu, bulan, tahun berganti. Aku tak pernah bertemu lagi dengan lelaki itu. Setiap hari, saat pulang dan pergi dengan bus atau kereta api, entah mengapa aku berharap bisa bertemu atau sekadar melihat sosoknya seperti dulu. Tapi ia tak ada. Ia seperti menghilang begitu saja, meninggalkan aku yang tak tahu kemana harus mencarinya. Dan ini adalah rasa kehilangan keduaku yang besar, setelah kepergian Mas Gagah.

Sebenarnya aku bertekad, bila aku bisa bertemu dengannya sekali lagi, aku akan memberanikan diri menyapanya. Aku akan bercerita tentang Mas Gagah, tentang kepeduliannya pada sekitar sebagaimana lelaki tak bernama itu. Aku bahkan berencana mengenalkan merekapada Bang Ucok, Bang Urip, Kang Asep dan adik-adik di kolong jembatan yang dulu dibina Mas Gagah.

“Memang orangnya kayak Gagah, Mbak?” Tanya Bang Ucok, saat kami bersama-sama membenahi buku-buku koleksi taman bacaan.

Bang Urip menatapku ingin tahu. Di depan taman bacaan mungil ini, adik-adik kecil sibuk membuat layang-layang untuk dijual.

Aku tercenung. “Mungkin wajahnya nggak ya, Bang. Tapi apa yang dia lakukan, kepeduliannya…entahlah. Gita merasa dekat saja dengannya. Gita merasa spirit yang sama dalam dirinya seperti spirit dalam diri Mas Gagah.”

Bang Urip dan Bang Ucok garuk-garuk kepala. “Jadi pengin kenalan,” kata Bang Ucok. Bang Urip dan Kang Asep mengangguk.

“Suatu saat Gita akan ajak ia kemari, Bang, insya Allah.”

“Iya, tak ada lagi yang mengajar kami mengaji sejak Gagah tidak ada,” ujar Bang Ucok.

“Ya iye, pada takut dipalak duluan. Lewat sini aje mereka kagak berani,” tambah Bang Urip. “Ye, emangnye mereka Si Gagah? Ketahuan die sinpai karate. Kita palak, malah dulu kite nyang babak belur, trus malah diajak ngaji. Waktu kite ude kagak mabok, kagak main judi, kagak malak orang, trus jadi orang yang peduli ame lingkungan kite, Gagah bilang kite itu: preman insap! Kate Gagah dulu sahabat Nabi juga banyak nyang preman. Pas insap mereka langsung istiqomah!”

“Ah, emang lo inget artinya istiqomah?” serobot Kang Asep.

“Kayaknya konsisten, persisten, resisten!”

“Apa artinya itu, memang kau ingat? Sok anak kuliah kau kali kau!”

Bang Urip garuk-garuk kepala, “Ya kagak sih. Gue ingat belakangnye ten semua. Ah udeh nyang penting teguh maju jalan lurus terus! Istiqomah ntu gitu kate si Gagah!”

“Preman insaaaap!” seru Bang Ucok.

Bang Urip dan Kang Asep langsung berdiri tegak, menyusul Bang Ucok: “Huh huh huh huh: istiqomah!” mereka lompat-lompat sambil mengepalkan tangan ke atas, seperti tentara yang paling bersemangat. Seperti dulu saat masih bersama Mas Gagah. Tak jauh di belakang mereka, anak-anak rumah baca juga melompat-lompat melakukan hal yang sama.

Aku tersenyum. Mereka masih terus mengingat Mas Gagah dan masih sering bercerita tentangnya, seperti aku berharap setiap kali masih bisa menemukan sosoknya di rumah sepulang dari kuliah.

“Mbak Gita sekarang tambah ayu ya?”

“Iya, lebih kalem…”

Celutuk beberapa anak tiba-tiba, sambil mencuri-curi pandang ke arahku.

Sudah senja. Kupeluk mereka dan segera pulang. “Nanti Mbak Gita bawakan lagi buku yang banyak, insya Allah!” janjiku.



Lama setelah itu aku belum juga kembali bertemu dengan Si Kemeja Kotak-kotak.

Kini aku sudah lebih rapi dalam berjilbab. Tutut yang paling girang sampai sujud syukur segala melihat aku bertekad untuk tak lagi pakai baju ketat atau kerudung terawang. Alhamdulillah. Tetapi kalau mau jujur, Mas Kotak-kotak itu punya andil dalam keislamanku, meski aku lebih teguh berjilbab bukan karena dia, melainkan karena Allah semata.

Dan kini, tak terasa aku sudah tamat kuliah. Aku juga ingin bisa segera bekerja, seperti teman-temanku yang lain. Bisa bermanfaat bagi orang banyak, bukan sekadar mencari uang.

“Kenapa sih tidak kerja di perusahaan Papa saja?” tanya Papa.

Aku hanya mencium kening beliau dan berkata, “Gita mau berusaha mandiri dulu….”

Untunglah Papa mau mengerti dan senang melihat anaknya selalu berusaha mandiri. “Kamu akan jadi perempuan yang kuat, Gita Ayu Pratiwi,” ujarnya sambil menepuk-nepuk bahuku.

Dan hari ini aku cukup deg-degan.

Sebuah perusahaan elektronik membutuhkan tenaga marketing yang menguasai bahasa Inggris. Aku mencoba melamar. Namanya juga usaha. Kemarin aku sudah dipanggil untuk wawancara. Ya, siapa tahu diterima meski kurang pengalaman, kan?

“Mbak Gita?”

Aku mengangguk.

“Mbak diminta langsung menghadap Direktur kami!” ujar resepsionis di hadapanku.

Aku berdiri, dengan perasaan tak menentu “Direktur?” tanyaku. “Bukan ke HRD lagi yang mbak?”

“Iya, data mbak sudah dipelajari oleh HRD kami. Wawancara oleh HRD juga sudah kan kemarin. Ini wawancara berikutnya, Mbak.”

“Wawancara lagi?” aku tak mengerti.

“Pak Yudhistira minta Mbak langsung menghadapnya.”

“Oh,” kutepis rasa heranku.

“Silakan, Mbak,” seorang perempuan lain yang kukira sekretaris menemaniku menuju ruang direktur.

Penuh rasa optimis aku melangkah. “Selamat pagi,” sapaku biasa, saat melangkah masuk.

Seorang lelaki dengan kemeja kotak-kotak menjawab salamku.

Aku terperangah!

Dia juga!

Kubaca nama yang terpampang di mejanya: Yudhistira Arifin, Ph.D -Direktur.

“Gita Ayu Pratiwi?“

Aku mengangguk.

“Saya merasa pernah melihat Anda. Di mana ya?” tanyanya tiba-tiba.

Suaraku tercekat di kerongkongan. “ Dalam…ng… bus…, Pak….?”

Dia mengangguk. Tersenyum, berdiri, merapikan jas di bahu bangkunya. “Mungkin di UI karena saya juga lulusan sana…,” ujarnya simpatik. “Atau dalam bus dan kereta api?” ia tertawa. “Barangkali malah di rumah sakit?”

Aku tersenyum, namun bingung.

“Anda tahu mengapa Anda saya panggil kemari?”

Aku menggeleng.

“Pertama, karena Anda gadis itu. Gadis yang membawa saya ke Rumah Sakit…bertahun lalu saat peristiwa tawuran pelajar itu….”

Aku tercengang.

“Gita….subhanallah….”

Aku mengangguk, “Saya, Pak.”

“Keluar dari rumah sakit , saya diberitahu nama orang yang menolong saya. Gita. Tak mungkin saya lupa…,”katanya lagi. “Maaf, sesudah pemulihan, saya kesulitan menghubungi anda. Rumah sakit juga tidak menyimpan data Anda. Saya kemudian mendapat beasiswa kuliah di Perancis. Jadi…saya belum mengucapkan terimakasih….”

Hening.

Tiba-tiba sekretaris yang tadi mengantarku, masuk kembali sambil membawa beberapa map. “Pak, ada undangan mengisi ceramah dari Departemen Keuangan, beberapa hotel berbintang dan dari universitas di Jerman serta Australia,”

Departemen Keuangan? Hotel berbintang? Universitas di Jerman dan Australia? Hebat sekali! Batinku.

“Jadi, kualifikasi Anda cocok dengan yang kami butuhkan. Selamat, Gita! Anda kami terima!”

“Alhamdulillah,” kataku. “Terimakasih, Pak.”

“Kembali,” katanya ringan. “Oh ya, Gita, sekali lagi saya ucapkan terimakasih atas pertolongan Anda. Hanya Allah yang mampu membalasnya. Ah kalau saja Anda tidak membawa saya ke rumah sakit waktu itu, tentu saya tak akan ada di sini sekarang….”

“Dan mungkin saja saya tidak akan diterima bekerja di sini…,” candaku. “ Ya, sama-sama, Pak….”

Ia tertawa.

“Panggil saya Yudi saja. Anda mulai bekerja besok. Silakan pelajari berkas-berkas ini….”

Aku mengangguk.

“Tolong panggil OB kita ya,” katanya pada sekretarisnya kemudian.

Aku baru akan beranjak, saat seseorang masuk. Wajah yang pernah kulihat lagi!

“Ini Manto,” ujarnya. “OB kita yang hebat. Manto yang mengingatkan saya akan nama Anda.”

Manto mengangguk, “Mbak Gita….”

Aku ternganga: pemuda rapi yang dulu pernah ia tangkap saat mencopet dulu! Yang juga membantuku menolong pelajar itu!

“Setelah menasehati saya dulu, Pak Yudi mengajak saya ke sanggar milik temannya. Kami belajar ngaji sambil membuat kerajinan tangan. Setelah lama tak bertemu, setahun lalu, Pak Yudi mengajak saya bekerja di sini.”

“Manto rajin dan jujur, jadi Gita bisa minta tolong apa saja padanya,” Pak Yudi tersenyum. Aku juga.Subhanallah.

Sorenya, setelah makan bakso di sekitar (calon) kantorku, aku naik ke Trans Jakarta tujuan Rawamangun.

Aku baru saja akan membuka berkas-berkas yang diberikan Mas Abdul eh…Pak Yudi…, ketika satu sosok yang kukenal naik ke dalam bus sambil tersenyum.

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh….”

Aku melongo. Nyaris tak percaya.

“Nak Yudi!” Seru seorang bapak. “Senang bisa mendengar Anda lagi!”

“Ya, perjalanan panjang seakan tak berarti bersama Dik Yudi!” seru penumpang lain.

Pak Supir tertawa. Penumpang yang lain tersenyum senang.

Aku ternganga. Dan seperti dulu, dengan gaya khasnya, ia berbicara dan orang-orang mendengarkan.

“Apakah hakikat sabar itu, Saudaraku? Apa hakikat cinta di tengah masyarakat kita yang kini sudah semakin tak peduli? Mau mendengar cerita tentang cinta dan sabar? Tentang bagaimana kita harus berjabat hati dalam membangun negeri ini?”

Semua mengangguk tanpa sadar. Aku juga.

Dan seperti tahun-tahun lalu pula… kata-katanya begitu menyentuh dan berpengaruh, mengingatkanku pada sosok yang seperti terus berada dalam rinduku….

“Ajari saya… Islam. Saya mau… mengaji, Nak,” bisik seorang Ibu berwajah Chinese yang duduk tepat di sampingku, saat Yudi baru saja menyudahi ceramahnya.

Aku haru.

Dari balik kacamatanya, kulihat mata lelaki berkemeja kotak-kotak rapi itu berkaca-kaca. Selalu, seperti dulu, saat pertama kali aku menatapnya.

Angin tak ada, dibungkam AC bus Trans Jakarta, namun semilirnya menyelusup dalam batinku. Sejuk. Lelaki itu mengangguk padaku, tersenyum lama.

Dalam senja yang temaram, dari balik jendela busway, kulihat Mas Gagah di antara kerumunan orang yang menunggu bus. Wajahnya cerah.


Dan jadilah muslimah sejati 
yang selalu mengedepankan nurani
Agar Allah selalu besertamu.

Ingat Islam itu indah…

Islam itu cinta…


Baca juga Cerpen Ketika Mas Gagah Pergi 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh Surat Keterangan Siswa dengan NISN

Lomba menulis untuk siswa SD, SMP atau SMA seringkali mensyaratkan surat keterangan dari kepala sekolah, lengkap dengan Nomor Induk Siswa Nasional (NISN). Surat ini untuk menguatkan status siswa di satu sekolah sekaligus sebagai upaya menyadarkan pihak sekolah bahwa ada siswanya yang ingin mengikuti suatu lomba.  Surat Keterangan Siswa Siswa cukup menyampaikan permintaan surat keterangan siswa kepada guru, wali kelas, atau wakil kepala sekolah urusan kesiswaan. Surat keterangan siswa dibuat oleh bagian administrasi sekolah, ditandatangani kepala sekolah dan dibubuhi cap. Berikut ini merupakan contoh surat keterangan siswa yang belum ditandatangani kepala sekolah dan dibubuhi cap.    Contoh surat keterangan siswa yang belum dibubuhi cap sekolah dan tanda tangan kepala sekolah Nomor Induk Siswa Nasional Nomor Induk Siswa Nasional merupakan nomor identitas unik yang diberikan secara acak kepada setiap siswa di Indonesia oleh Pusat Data Statistik Pendidikan (PDSP),

Mengingat Kembali Jawaban Pertanyaan Mengapa Ingin Memiliki Anak

Ada satu pertanyaan sederhana, namun tidak semua pasangan menikah dapat menjawabnya. Pertanyaan itu adalah, “mengapa ingin memiliki anak?” Bagi pasangan yang bertahun-tahun menikah namun belum juga dikaruniai anak, pertanyaan itu akan dijawab dengan lancar. Mereka sudah melewati ribuan hari tanpa tangis bayi, tiada canda tawa dengan anak-anak. Mereka menemukan banyak sekali alasan sehingga ingin sekali memiliki anak. Untuk pasangan yang sangat mudah dititipi anak oleh-Nya, pertanyaan mengapa ingin memiliki anak, bisa jadi terbersit pun tidak. Anak seolah hadir begitu saja. Baru saja menikah, beberapa bulan kemudian istri hamil. Setahun kemudian pasangan suami istri telah menjadi orang tua. Beberapa tahun kemudian, anak kedua, ketiga dan seterusnya lahir. Jawaban-jawaban berikut ini mungkin menjadi jawaban sekian orang tua saat mendapat pertanyaan tersebut: Saya ingin menciptakan kembali masa kecil yang indah Ngg…Semacam investasi untuk hari nanti Sebab saya percaya, kita akan m

Inilah 8 Alasan Seorang Suami Tetap Suka Menonton Film Porno

Banyak hal yang berubah setelah menikah. Namun apa jadinya jika seorang pria masih mempertahankan kebiasaan buruknya padahal sudah beristri. Kebiasaan terkait hubungan suami istri lagi. Berikut kisahnya, saya kutip dari guystuffcounseling.com publikasi (27/9/2017) Monica sangat marah pada Ed karena kebiasaan buruknya. Dia menemuai Jed Diamond, Ph.D., seorang psikoterapis di Willits, California, Amerika Serikat, untuk menceritakan masalahnya. "Aku hanya tidak mengerti. Aku suka berhubungan intim. Aku ada kapan pun Ed tertarik. Kenapa dia harus mencari pornografi? Kurasa sesekali tidak menyakitkan, tapi dia sepertinya lebih suka nonton yang begituan di komputer." Monica merasa kebiasaan itu menghancurkan pernikahan mereka. Mengapa suaminya lebih suka nonton daripada melakukan bersama dirinya? Sebagai seorang terapis, Jed telah berbicara dengan banyak pria dan wanita yang memiliki masalah pornografi dalam kehidupan mereka. Jed mengemukakan 8 alasan pria memi