Ada satu pertanyaan sederhana, namun tidak semua pasangan menikah dapat menjawabnya. Pertanyaan itu adalah, “mengapa ingin memiliki anak?” Bagi pasangan yang bertahun-tahun menikah namun belum juga dikaruniai anak, pertanyaan itu akan dijawab dengan lancar. Mereka sudah melewati ribuan hari tanpa tangis bayi, tiada canda tawa dengan anak-anak. Mereka menemukan banyak sekali alasan sehingga ingin sekali memiliki anak. Untuk pasangan yang sangat mudah dititipi anak oleh-Nya, pertanyaan mengapa ingin memiliki anak, bisa jadi terbersit pun tidak. Anak seolah hadir begitu saja. Baru saja menikah, beberapa bulan kemudian istri hamil. Setahun kemudian pasangan suami istri telah menjadi orang tua. Beberapa tahun kemudian, anak kedua, ketiga dan seterusnya lahir. Jawaban-jawaban berikut ini mungkin menjadi jawaban sekian orang tua saat mendapat pertanyaan tersebut: Saya ingin menciptakan kembali masa kecil yang indah Ngg…Semacam investasi untuk hari nanti Sebab saya percaya, kita akan m
Pada
tahun 1993, seorang mahasiswi dari Program Studi Asia Barat, Jurusan Sastra
Arab, Fakultas Sastra Universitas Indonesia mengikuti mata kuliah Penulisan
Populer I yang diasuh oleh Ismail Marahimin. Sang dosen selalu memberikan tugas
mingguan untuk para mahasiswanya dan membantai tulisan mereka di kelas.
Suatu
hari, Pak Ismail memberikan tugas menulis cerpen. Semua peserta kuliah
Penulisan Populer harus membuat cerpen tentang kisah Abang-Adik yang menarik,
mengharukan, serta harus memiliki unsur kehilangan. Tugas itu sangat menantang
bagi si mahasiswi.
Sang
mahasiswi mencari ide. Ia terkenang seorang gadis bernama Gita yang pernah
dijumpainya pada satu masjid di Kemayoran, Jakarta. Gadis itu berjilbab dab
bermata sembab. Gita ternyata baru saja kehilangan kakaknya. Satu hal yang
disesali Gita, sang kakak wafat tanpa sempat melihat ia menggunakan jilbab.
Pada tahun 1993, jilbab masih asing, bahkan dilarang penggunaannya oleh beberapa
lembaga dan instansi.
Berdasarkan
pengalaman berjumpa Gita dan keinginan memiliki abang, maka sang mahasiswi
menulis satu cerpen. Cerpen itu berjudul Ketika Mas Gagah Pergi. Ditulis lepas
tengah malam oleh sang mahasiswi, Helvy Tiana Rosa namanya. Dan inilah cerpen
yang ditulis Helvy tersebut.
Ketika Mas Gagah Pergi
Oleh : Helvi Tyana Rosa
Mas gagah berubah! Ya,
beberapa bulan belakangan ini masku, sekaligus saudara kandungku satu-satunya
itu benar-benar berubah!
Mas Gagah Perwira
Pratama, masih kuliah di Tehnik Sipil UI semester tujuh. Ia seorang kakak yang
sangat baik, cerdas, periang dan tentu saja…ganteng !Mas Gagah juga sudah mampu
membiayai sekolahnya sendiri dari hasil mengajar privat untuk anak-anak SMA.
Sejak kecil aku sangat
dekat dengannya. Tak ada rahasia di antara kami. Ia selalu mengajakku ke mana
ia pergi. Ia yang menolong di saat aku butuh pertolongan. Ia menghibur dan
membujuk di saat aku bersedih. Membawakan oleh-oleh sepulang sekolah dan mengajariku
mengaji. Pendek kata, ia selalu melakukan hal-hal yang baik, menyenangkan dan
berarti banyak bagiku.
Saat memasuki usia
dewasa, kami jadi semakin dekat.Kalau ada saja sedikit waktu kosong, maka kami
akan menghabiskannya bersama. Jalan-jalan, nonton film atau konser musik atau
sekedar bercanda dengan teman-teman. Mas Gagah yang humoris itu akan membuat
lelucon-lelocon santai hingga aku dan teman-temanku tertawa terbahak. Dengan
sedan putihnya ia berkeliling mengantar teman-temanku pulang usai kami latihan
teater. Kadang kami mampir dan makan-makan dulu di restoran, atau bergembira
ria di Dufan Ancol.
Tak ada yang tak
menyukai Mas Gagah. Jangankan keluarga atau tetangga, nenek-kakek, orang tua
dan adik kakak teman-temanku menyukai sosoknya.
"Kakak kamu itu
keren, cute, macho dan humoris. Masih kosong nggak sih?"
"Git, gara-gara
kamu bawa Mas Gagah ke rumah, sekarang orang rumahku suka membanding-bandingkan
teman cowokku sama Mas Gagah lho! Gila, berabe kan?!"
"Gimana ya Git,
agar Mas Gagah suka padaku?"
Dan banyak lagi
lontaran-lontaran senada yang mampir ke kupingku. Aku Cuma mesem-mesem bangga.
Pernah kutanyakan pada
Mas Gagah mengapa ia belum juga punya pacar. Apa jawabnya?
"Mas belum minat
tuh! Kan lagi konsentrasi kuliah. Lagian kalau Mas pacaran…, banyak anggaran.
Banyak juga yang patah hati! He..he..he…"Kata Mas Gagah pura-pura serius.
Mas Gagah dalam
pandanganku adalah cowok ideal. Ia serba segalanya. Ia punya rancangan masa
depan, tetapi tak takut menikmati hidup. Ia moderat tetapi tidak pernah
meninggalkan shalat!
Itulah Mas Gagah!
Tetapi seperti yang
telah kukatakan, entah mengapa beberapa bulan belakangan ini ia berubah!
Drastis! Dan aku seolah tak mengenal dirinya lagi. Aku sedih. Aku kehilangan.
Mas Gagah yang kubanggakan kini entah kemana…
"Mas Gagah! Mas!
Mas Gagaaaaaahhh!" teriakku kesal sambil mengetuk pintu kamar Mas Gagah
keras-keras. Tak ada jawaban. Padahal kata Mama, Mas Gagah ada di kamarnya.
Kulihat stiker metalik di depan pintu kamar Mas Gagah. Tulisan berbahasa Arab gundul.
Tak bisa kubaca. Tetapi aku bisa membaca artinya: Jangan masuk sebelum memberi
salam!
"Assalaamu’alaikum!"seruku.
Pintu kamar terbuka dan
kulihat senyum lembut Mas Gagah.
"Wa
alaikummussalaam warohmatullahi wabarokatuh. Ada apa Gita? Kok teriak-teriak
seperti itu?" tanyanya.
"Matiin
kasetnya!"kataku sewot.
"Lho memangnya
kenapa?"
"Gita kesel bin
sebel dengerin kasetnya Mas Gagah! Memangnya kita orang Arab…, masangnya kok
lagu-lagu Arab gitu!" aku cemberut.
"Ini Nasyid. Bukan
sekedar nyanyian Arab tapi dzikir, Gita!"
"Bodo!"
"Lho, kamar ini kan
daerah kekuasaannya Mas. Boleh Mas melakukan hal-hal yang Mas sukai dan Mas
anggap baik di kamar sendiri," kata Mas Gagah sabar. "Kemarin waktu
Mas pasang di ruang tamu, Gita ngambek.., Mama bingung. Jadinya ya dipasang di
kamar."
"Tapi kuping Gita
terganggu Mas! Lagi asyik dengerin kaset Air Supply yang baru…,eh tiba-tiba
terdengar suara aneh dari kamar Mas!"
"Mas kan pasang
kasetnya pelan-pelan…"
"Pokoknya
kedengaran!"
"Ya, wis. Kalau
begitu Mas ganti aja dengan nasyid yang bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.
Bagus lho!"
"Ndak, pokoknya
Gita nggak mau denger!" Aku ngeloyor pergi sambil membanting pintu kamar
Mas Gagah.
Heran. Aku benar-benar
tak habis pikir mengapa selera musik Mas Gagah jadi begitu. Ke mana kaset-kaset
Scorpion, Wham, Elton John, Queen, Eric Claptonnya?"
"Wah, ini nggak
seperti itu Gita! Dengerin Scorpion atau Eric Clapton belum tentu mendatangkan
manfaat, apalagi pahala. Lainlah ya dengan nasyid senandung islami. Gita mau
denger? Ambil aja di kamar. Mas punya banyak kok!" begitu kata Mas Gagah.
Oala.
Sebenarnya perubahan Mas
Gagah nggak Cuma itu. Banyak. Terlalu banyak malah! Meski aku cuma adik kecilnya
yang baru kelas dua SMA, aku cukup jeli mengamati perubahan-perubahan itu.
Walau bingung untuk mencernanya.
Di satu sisi kuakui Mas
Gagah tambah alim. Shalat tepat waktu berjamaah di Mesjid, ngomongnya soal
agama terus. Kalau aku iseng mengintip dari lubang kunci, ia pasti lagi ngaji
atau membaca buku Islam. Dan kalau aku mampir ke kamarnya, ia dengan senang
hati menguraikan isi buku yang dibacanya, atau malah menceramahiku.
Ujung-ujungnya "Ayo dong Gita, lebih feminim. Kalau kamu mau pakai rok,
Mas rela deh pecahin celengan buat beliin kamu rok atau baju panjang. Muslimah
kan harus anggun. Coba adik manis, ngapain sih rambut ditrondolin begitu!"
Uh. Padahal dulu Mas
Gagah oke-oke saja melihat penampilanku yang tomboy. Dia tahu aku cuma punya
dua rok! Ya rok seragam sekolah itu saja! Mas Gagah juga tidak pernah keberatan
kalau aku meminjam baju kaos atau kemejanya. Ia sendiri dulu selalu memanggilku
Gito, bukan Gita! Eh sekarang pakai panggil adik manis segala!
Hal lain yang nyebelin,
penampilan Mas Gagah jadi aneh. Sering juga Mama menegurnya.
"Penampilanmu kok
sekarang lain Gah?"
"Lain gimana
Ma?"
"Ya nggak semodis
dulu. Nggak dendy lagi. Biasanya kamu kan paling sibuk sama penampilan kamu
yang kayak cover boy itu…"
Mas Gagah cuma senyum.
"Suka begini Ma. Bersih, rapi meski sederhana. Kelihatannya juga lebih
santun."
Ya, dalam pandanganku
Mas Gagah kelihatan menjadi lebih kuno, dengan kemeja lengan panjang atau baju
koko yang dipadu dengan celana panjang semi baggy-nya. "Jadi mirip Pak
Gino." Komentarku menyamakannya dengan supir kami. "Untung aja masih
lebih ganteng."
Mas Gagah cuma tertawa.
Mengacak-acak rambutku dan berlalu. Mas Gagah lebih pendiam? Itu juga
kurasakan. Sekarang Mas Gagah nggak kocak seperti dulu. Kayaknya dia juga males
banget ngobrol lama dan bercanda sama perempuan. Teman-temanku bertanya-tanya.
Thera, peragawati sebelah rumah kebingungan.
Dan..yang paling gawat,
Mas Gagah emoh salaman sama perempuan! Kupikir apa sih maunya Mas Gagah?"
"Sok kece banget
sih Mas? Masak nggak mau jabatan tangan sama Tresye? Dia tuh cewek paling beken
di sanggar Gita tahu?" tegurku suatu hari. "Jangan gitu dong. Sama
aja nggak menghargai orang!"
"Justru karena Mas
menghargai dia, makanya Mas begitu," dalihnya, lagi-lagi dengan nada yang
amat sabar. "Gita lihat kan gaya orang Sunda salaman? Santun tetapi nggak
sentuhan. Itu yang lebih benar!"
Huh, nggak mau salaman.
Ngomong nunduk melulu…, sekarang bawa-bawa orang Sunda. Apa hubungannya?"
Mas Gagah membuka sebuah
buku dan menyorongkannya kepadaku."Baca!"
Kubaca keras-keras.
"Dari Aisyah ra. Demi Allah, demi Allah, demi Allah, Rasulullah Saw tidak
pernah berjabatan tangan dengan wanita kecuali dengan mahromnya. Hadits Bukhori
Muslim."
Mas Gagah tersenyum.
"Tapi Kyai Anwar
mau salaman sama Mama. Haji Kari, Haji Toto, Ustadz Ali…," kataku.
"Bukankah
Rasulullah qudwatun hasanah? Teladan terbaik?" Kata Mas Gagah sambil
mengusap kepalaku. "Coba untuk mengerti ya dik manis?"
Dik manis? Coba untuk
mengerti? Huh! Dan seperti biasa aku ngeloyor pergi dari kamar Mas Gagah dengan
mangkel.
Menurutku Mas Gagah
terlalu fanatik. Aku jadi khawatir, apa dia lagi nuntut ilmu putih? Ah, aku
juga takut kalau dia terbawa orang-orang sok agamis tapi ngawur. Namun akhirnya
aku tidak berani menduga demikian. Mas Gagah orangnya cerdas sekali. Jenius
malah. Umurnya baru dua puluh satu tahun tetapi sudah tingkat empat di FT-UI.
Dan aku yakin mata batinnya jernih dan tajam. Hanya…yaaa akhir-akhir ini dia
berubah. Itu saja. Kutarik napas dalam-dalam.
"Mau kemana
Gita?"
"Nonton sama
temen-temen." Kataku sambil mengenakan sepatu."Habis Mas Gagah kalau
diajak nonton sekarang kebanyakan nolaknya."
"Ikut Mas aja
yuk!"
"Ke mana? Ke tempat
yang waktu itu lagi? Ogah. Gita kayak orang bego di sana!"
Aku masih ingat jelas.
Beberapa waktu lalu Mas Gagah mengajak aku ke rumah temannya. Ada pengajian.
Terus pernah juga aku diajak menghadiri tablig akbar di suatu tempat. Bayangin,
berapa kali aku diliatin sama cewek lain yang kebanyakan berjilbab itu.
Pasalnya aku ke sana dengan memakai kemeja lengan pendek, jeans belel dan
ransel kumalku. Belum lagi rambut trondol yang tidak bisa disembunyiin.
Sebenarnya Mas Gagah menyuruhku memakai baju panjang dan kerudung yang biasa
Mama pakai ngaji. Aku nolak sambil ngancam nggak mau ikut.
"Assalamualaikum!"
terdengar suara beberapa lelaki.
Mas Gagah menjawab salam
itu. Tak lama kulihat Mas Gagah dan teman-temannya di ruang tamu. Aku sudah
hafal dengan teman-teman Mas Gagah. Masuk, lewat, nunduk-nunduk, nggak ngelirik
aku…, persis kelakuannya Mas Gagah.
"Lewat aja nih,
Gita nggak dikenalin?"tanyaku iseng.
Dulu nggak ada teman Mas
Gagah yang tak akrab denganku. Tapi sekarang, Mas Gagah bahkan nggak
memperkenalkan mereka padaku. Padahal teman-temannya lumayan handsome.
Mas Gagah menempelkan
telunjuknya di bibir. "Ssssttt."
Seperti biasa aku bisa
menebak kegiatan mereka. Pasti ngomongin soal-soal keislaman, diskusi, belajar
baca Quran atau bahasa Arab… yaa begitu deh!
"Subhanallah,
berarti kakak kamu ihkwan dong!" Seru Tika setengah histeris mendengar
ceritaku. Teman akrabku ini memang sudah hampir sebulan berjilbab rapi.
Memusiumkan semua jeans dan baju-baju you can see-nya.
"Ikhwan?’ ulangku.
"Makanan apaan tuh? Saudaranya bakwan atau tekwan?" Suaraku yang
keras membuat beberapa makhluk di kantin sekolah melirik kami.
"Husy, untuk
laki-laki ikhwan dan untuk perempuan akhwat. Artinya saudara. Biasa dipakai
untuk menyapa saudara seiman kita." Ujar Tika sambil menghirup es kelapa
mudanya. "Kamu tahu Hendra atau Isa kan? Aktivis Rohis kita itu contoh
ikhwan paling nyata di sekolah ini."
Aku manggut-manggut.
Lagak Isa dan Hendra memang mirip Mas Gagah.
"Udah deh Git.
Nggak usah bingung. Banyak baca buku Islam. Ngaji. Insya Allah kamu akan tahu
menyeluruh tentang agama kita ini. Orang-orang seperti Hendra, Isa atau Mas
Gagah bukanlah orang-orang yang error. Mereka hanya berusaha mengamalkan Islam
dengan baik dan benar. Kitanya aja yang belum ngerti dan sering salah
paham."
Aku diam. Kulihat
kesungguhan di wajah bening Tika, sobat dekatku yang dulu tukang ngocol ini.
Tiba-tiba di mataku ia menjelma begitu dewasa.
"Eh kapan kamu main
ke rumahku? Mama udah kangen tuh! Aku ingin kita tetap dekat Gita…mesti kita
mempunyai pandangan yang berbeda, " ujar Tika tiba-tiba.
"Tik, aku
kehilangan kamu. Aku juga kehilangan Mas Gagah…" kataku jujur.
"Selama ini aku pura-pura cuek tak peduli. Aku sedih…"
Tika menepuk pundakku.
Jilbab putihnya bergerak ditiup angin." Aku senang kamu mau membicarakan
hal ini denganku. Nginap di rumah, yuk, biar kita bisa cerita banyak. Sekalian
kukenalkan dengan Mbak Ana.
"Mbak Ana?"
"Sepupuku yang
kuliah di Amerika! Lucu deh, pulang dari Amerika malah pakai jilbab. Ajaib.
Itulah hidayah.
"Hidayah."
"Nginap ya. Kita
ngobrol sampai malam dengan Mbak Ana!"
"Assalaamualaikum,
Mas ikhwan.. eh Mas Gagah!" tegurku ramah.
‘Eh adik Mas Gagah! Dari
mana aja? Bubar sekolah bukannya langsung pulang!" Kata Mas Gagah
pura-pura marah, usai menjawab salamku.
"Dari rumah Tika,
teman sekolah, "jawabku pendek. "Lagi ngapain, Mas?"tanyaku
sambil mengitari kamarnya. Kuamati beberapa poster, kaligrafi, gambar-gambar
pejuang Palestina, Kashmir dan Bosnia. Puisi-puisi sufistik yang tertempel rapi
di dinding kamar. Lalu dua rak koleksi buku keislaman…
"Cuma lagi
baca!"
"Buku apa?"
"Tumben kamu pingin
tahu?"
"Tunjukkin dong,
Mas…buku apa sih?"desakku.
"Eiit…eiitt Mas
Gagah berusaha menyembunyikan bukunya.
Kugelitik kakinya. Dia
tertawa dan menyerah. "Nih!"serunya memperlihatkan buku yang tengah
dibacanya dengan wajah yang setengah memerah.
"Naah
yaaaa!"aku tertawa. Mas Gagah juga. Akhirnya kami bersama-sama membaca
buku "Memilih Jodoh dan Tata Cara Meminang dalam Islam" itu.
"Maaas…"
"Apa Dik
Manis?"
"Gita akhwat bukan
sih?"
"Memangnya
kenapa?"
"Gita akhwat atau
bukan? Ayo jawab…" tanyaku manja.
Mas Gagah tertawa. Sore
itu dengan sabar dan panjang lebar, ia berbicara padaku. Tentang Allah,
Rasulullah. Tentang ajaran Islam yang diabaikan dan tak dipahami umatnya.
Tentang kaum Muslimin di dunia yang selalu menjadi sasaran fitnah serta
pembantaian dan tentang hal-hal-lainnya. Dan untuk pertamakalinya setelah
sekian lama, aku kembali menemukan Mas Gagahku yang dulu.
Mas Gagah dengan
semangat terus bicara. Terkadang ia tersenyum, sesaat sambil menitikan air
mata. Hal yang tak pernah kulihat sebelumnya.
"Mas kok
nangis?"
"Mas sedih karena
Allah, Rasul dan Islam kini sering dianggap remeh. Sedih karena umat banyak
meninggalkan Quran dan sunnah, juga berpecah belah. Sedih karena saat Mas
bersenang-senang dan bisa beribadah dengan tenang, saudara-saudara seiman di
belahan bumi lainnya sedang digorok lehernya, mengais-ngais makanan di jalan
dan tidur beratap langit."
Sesaat kami terdiam. Ah
Mas Gagah yang gagah dan tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat peduli…
"Kok tumben Gita
mau dengerin Mas ngomong?" Tanya Mas Gagah tiba-tiba.
"Gita capek marahan
sama Mas Gagah!" ujarku sekenanya.
"Memangnya Gita
ngerti yang Mas katakan?"
"Tenang aja. Gita
ngerti kok!" kataku jujur. Ya, Mbak Ana juga pernah menerangkan demikian.
Aku ngerti deh meskipun tidak begitu mendalam.
Malam itu aku tidur
ditemani buku-buku milik Mas Gagah. Kayaknya aku dapat hidayah.
Hari-hari berlalu. Aku
dan Mas Gagah mulai dekat lagi seperti dulu. Meski aktifitas yang kami lakukan
bersama kini berbeda dengan yang dulu. Kini tiap Minggu kami ke Sunda Kelapa
atau Wali Songo, mendengarkan ceramah umum, atau ke tempat-tempat di mana
tablig akbar digelar. Kadang cuma aku dan Mas Gagah. Kadang-kadang, bila
sedikit terpaksa, Mama dan Papa juga ikut.
"Apa nggak bosan,
Pa…tiap Minggu rutin mengunjungi relasi ini itu. Kebutuhan rohaninya
kapan?" tegurku.Biasanya Papa hanya mencubit pipiku sambil menyahut,
"Iya deh, iya!"
Pernah juga Mas Gagah
mengajakku ke acara pernikahan temannya. Aku sempat bingung, soalnya
pengantinnya nggak bersanding tetapi terpisah. Tempat acaranya juga begitu.
Dipisah antara lelaki dan perempuan. Terus bersama souvenir, para tamu juga
diberi risalah nikah. Di sana ada dalil-dalil mengapa walimah mereka
dilaksanakan seperti itu. Dalam perjalanan pulang, baru Mas Gagah memberi tahu
bagaimana hakikat acara pernikahan dalam Islam. Acara itu tidak boleh menjadi
ajang kemaksiatan dan kemubaziran. Harus Islami dan semacamnya. Ia juga
mewanti-wanti agar aku tidak mengulangi ulah mengintip tempat cowok dari tempat
cewek.
Aku nyengir kuda.
Tampaknya Mas Gagah
mulai senang pergi denganku, soalnya aku mulai bisa diatur. Pakai baju yang
sopan, pakai rok panjang, ketawa nggak cekakaan.
"Nyoba pakai
jilbab. Git!" pinta Mas Gagah suatu ketika.
"Lho, rambut Gita
kan udah nggak trondol. Lagian belum mau deh jreng.
Mas Gagah tersenyum.
"Gita lebih anggun jika pakai jilbab dan lebih dicintai Allah kayak
Mama."
Memang sudah beberapa
hari ini Mama berjilbab, gara-garanya dinasihati terus sama Mas Gagah, dibeliin
buku-buku tentang wanita, juga dikomporin oleh teman-teman pengajian beliau.
"Gita mau tapi
nggak sekarang," kataku. Aku memikirkan bagaimana dengan seabreg
aktivitasku, prospek masa depan dan semacamnya.
"Itu bukan
halangan." Ujar Mas Gagah seolah mengerti jalan pikiranku.
Aku menggelengkan
kepala. Heran, Mama yang wanita karier itu cepat sekali terpengaruh dengan Mas
Gagah.
"Ini hidayah,
Gita." Kata Mama. Papa yang duduk di samping beliau senyum-senyum.
"Hidayah? Perasaan
Gita duluan yang dapat hidayah, baru Mama. Gita pakai rok aja udah hidayah.
"Lho! " Mas
Gagah bengong.
Dengan penuh kebanggaan
kutatap lekat wajah Mas Gagah. Gimana nggak bangga? Dalam acara studi tentang
Islam yang diadakan FTUI untuk umum ini, Mas Gagah menjadi salah satu
pembicaranya. Aku yang berada di antara ratusan peserta rasanya ingin
berteriak, "Hei itu kan Mas Gagah-ku!"
Mas Gagah tampil tenang.
Gaya penyampaiannya bagus, materi yang dibawakannya menarik dan retorikanya
luar biasa. Semua hening mendengar ia bicara. Aku juga. Mas Gagah fasih
mengeluarkan ayat-ayat Quran dan hadits. Menjawab semua pertanyaan dengan baik
dan tuntas. Aku sempat bingung, "Lho Mas Gagah kok bisa sih?" Bahkan
materi yang disampaikannya jauh lebih bagus daripada yang dibawakan oleh kyai-kyai
kondang atau ustadz tenar yang biasa kudengar.
Pada kesempatan itu Mas
Gagah berbicara tentang Muslimah masa kini dan tantangannya dalam era
globalisasi. "Betapa Islam yang jelas-jelas mengangkat harkat dan martabat
wanita, dituduh mengekang wanita hanya karena mensyariatkan jilbab. Jilbab
sebagai busana takwa, sebagai identitas Muslimah, diragukan bahkan oleh para
muslimah kita, oleh orang Islam itu sendiri, " kata Mas Gagah.
Mas Gagah terus bicara.
Kini tiap katanya kucatat di hati.
Lusa ulang tahunku. Dan
hari ini sepulang sekolah, aku mampir ke rumah Tika. Minta diajarkan cara
memakai jilbab yang rapi. Tuh anak sempat histeris juga. Mbak Ana senang dan
berulang kali mengucap hamdallah.
Aku mau kasih kejutan
kepada Mas Gagah. Mama bisa dikompakin. Nanti sore aku akan mengejutkan Mas
Gagah. Aku akan datang ke kamarnya memakai jilbab putihku. Kemudian mengajaknya
jalan-jalan untuk persiapkan tasyakuran ulang tahun ketujuh belasku.
Kubayangkan ia akan
terkejut gembira. Memelukku. Apalagi aku ingin Mas Gagah yang memberi ceramah
pada acara syukuran yang insya Allah akan mengundang teman-teman dan anak-anak
yatim piatu dekat rumah kami.
"Mas ikhwan! Mas
Gagah! Maasss! Assalaamualaikum! Kuketuk pintu Mas Gagah dengan riang.
"Mas Gagah belum
pulang. "kata Mama.
"Yaaaaa, kemana
sih, Ma??" keluhku.
"Kan diundang
ceramah di Bogor. Katanya langsung berangkat dari kampus…"
"Jangan-jangan
nginep, Ma. Biasanya malam Minggu kan suka nginep di rumah temannya, atau di
Mesjid. "
"Insya Allah nggak.
Kan Mas Gagah ingat ada janji sama Gita hari ini." Hibur Mama menepis
gelisahku.
Kugaruk-garuk kepalaku
yang tidak gatal. Entah mengapa aku kangen sekali sama Mas Gagah.
"Eh, jilbab Gita
mencong-mencong tuh!" Mama tertawa.
Tanganku sibuk merapikan
jilbab yang kupakai. Tersenyum pada Mama.
Sudah lepas Isya’ Mas
Gagah belum pulang juga.
"Mungkin dalam
perjalanan. Bogor kan lumayan jauh.." hibur Mama lagi.
Tetapi detik demi detik
menit demi menit berlalu sampai jam sepuluh malam, Mas Gagah belum pulang juga.
"Nginap barangkali,
Ma." Duga Papa.
Mama menggeleng.
"Kalau mau nginap Gagah selalu bilang, Pa."
Aku menghela napas
panjang. Menguap. Ngantuk. Jilbab putih itu belum juga kulepaskan. Aku berharap
Mas Gagah segera pulang dan melihatku memakainya.
"Kriiiinggg!"
telpon berdering.
Papa mengangkat
telpon,"Hallo. Ya betul. Apa? Gagah?"
"Ada apa, Pa."
Tanya Mama cemas.
"Gagah…kecelakaan…Rumah
Sakit Islam…" suara Papa lemah.
"Mas
Gagaaaaahhhh" Air mataku tumpah. Tubuhku lemas.
Tak lama kami sudah
dalam perjalanan menuju Cempaka Putih. Aku dan Mama menangis berangkulan.
Jilbab kami basah.
Dari luar kamar kaca,
kulihat tubuh Mas Gagah terbaring lemah. Kaki, tangan dan kepalanya penuh
perban. Informasi yang kudengar sebuah truk menghantam mobil yang dikendarai
Mas Gagah. Dua teman Mas Gagah tewas seketika sedang Mas Gagah kritis.
Dokter melarang kami
masuk ke dalam ruangan.
" Tetapi saya Gita
adiknya, Dok! Mas Gagah pasti mau melihat saya pakai jilbab ini." Kataku
emosi pada dokter dan suster di depanku.
Mama dengan lebih tenang
merangkulku. "Sabar sayang, sabar."
Di pojok ruangan Papa
dengan serius berbicara dengan dokter yang khusus menangani Mas Gagah. Wajah
mereka suram.
"Suster, Mas Gagah
akan hidup terus kan, suster? Dokter? Ma?" tanyaku. "Papa, Mas Gagah
bisa ceramah pada acara syukuran Gita kan?" Air mataku terus mengalir.
Tapi tak ada yang
menjawab pertanyaanku kecuali kebisuan dinding-dinding putih rumah sakit. Dan
dari kaca kamar, tubuh yang biasanya gagah dan enerjik itu bahkan tak bergerak.
"Mas Gagah, sembuh
ya, Mas…Mas..Gagah, Gita udah menjadi adik Mas yang manis. Mas..Gagah…"
bisikku.
Tiga jam kemudian kami
masih berada di rumah sakit. Sekitar ruang ICU kini telah sepi. Tinggal kami
dan seorang bapak paruh baya yang menunggui anaknya yang juga dalam kondisi
kritis. Aku berdoa dan terus berdoa. Ya Allah, selamatkan Mas Gagah…Gita, Mama,
Papa butuh Mas Gagah…umat juga."
Tak lama Dokter Joko
yang menangani Mas Gagah menghampiri kami. "Ia sudah sadar dan memanggil
nama Papa, Mama dan Gi.."
"Gita…"
suaraku serak menahan tangis.
Pergunakan waktu yang
ada untuk mendampinginya sesuai permintaannya. Sukar baginya untuk bertahan.
Maafkan saya…lukanya terlalu parah." Perkataan terakhir dokter Joko
mengguncang perasaan, menghempaskan harapanku!.
"Mas…ini Gita
Mas.." sapaku berbisik.
Tubuh Mas Gagah bergerak
sedikit. Bibirnya seolah ingin mengucapkan sesuatu.
Kudekatkan wajahku
kepadanya. "Gita sudah pakai jilbab, kataku lirih. Ujung jilbabku yang
basah kusentuhkan pada tangannya."
Tubuh Mas Gagah bergerak
lagi.
"Dzikir…Mas."
Suaraku bergetar. Kupandang lekat-lekat tubuh Mas Gagah yang separuhnya memakai
perban. Wajah itu begitu tenang.
"Gi..ta…"
Kudengar suara Mas
Gagah! Ya Allah, pelan sekali.
"Gita di sini,
Mas…"
Perlahan kelopak matanya
terbuka.
"Aku
tersenyum."Gita…udah pakai…jilbab…" kutahan isakku.
Memandangku lembut Mas
Gagah tersenyum. Bibirnya seolah mengucapkan sesuatu seperti hamdallah.
"Jangan ngomong
apa-apa dulu, Mas…" ujarku pelan ketika kulihat ia berusaha lagi untuk
mengatakan sesuatu.
Mama dan Papa memberi
isyarat untuk gantian. Ruang ICU memang tidak bisa dimasuki beramai-ramai.
Dengan sedih aku keluar. Ya Allah…sesaat kulihat Mas Gagah tersenyum. Tulus
sekali. Tak lama aku bisa menemui Mas Gagah lagi. Dokter mengatakan tampaknya
Mas Gagah menginginkan kami semua berkumpul.
Kian lama kurasakan
tubuh Mas gagah semakin pucat, tetapi sebentar-sebentar masih tampak bergerak.
Tampaknya ia masih bisa mendengar apa yang kami katakan, meski hanya bisa
membalasnya dengan senyuman dan isyarat mata.
Kuusap setitik lagi air
mata yang jatuh. "Sebut nama Allah banyak-banyak…Mas," kataku sambil
menggenggam tangannya. Aku sudah pasrah pada Allah. Aku sangat menginginkan Mas
Gagah terus hidup, tetapi sebagai insan beriman sebagaimana yang juga diajarkan
Mas Gagah, aku pasrah pada ketentuan Allah. Allah tentu tahu apa yang terbaik
bagi Mas Gagah.
"Laa…ilaaha…illa..llah…Muham…mad
Ra..sul …Allah… suara Mas Gagah pelan, namun tak terlalu pelan untuk bisa kami
dengar.
Mas Gagah telah kembali
kepada Allah. Tenang sekali. Seulas senyum menghiasi wajahnya. Aku memeluk
tubuh yang terbujur kaku dan dingin itu kuat-kuat. Mama dan Papa juga. Isak
kami bersahutan walau kami rela dia pergi. Selamat jalan Mas Gagah.
Epilog:
Kubaca berulang kali
kartu ucapan Mas Gagah. Keharuan memenuhi rongga-rongga dadaku. Gamis dan
jilbab hijau muda, manis sekali. Akh, ternyata Mas Gagah telah mempersiapkan
kado untuk hari ulang tahunku. Aku tersenyum miris.
Kupandangi kamar Mas
Gagah yang kini lengang. Aku rindu panggilan dik manis, aku rindu suara nasyid.
Rindu diskusi-diskusi di kamar ini. Rindu suara merdu Mas Gagah melantunkan
kalam Illahi yang selamanya tiada kan kudengar lagi. Hanya wajah para mujahid
di dinding kamar yang menatapku. Puisi-puisi sufistik yang seolah bergema di ruangan ini.
Setitik air mataku jatuh
lagi.
"Mas, Gita akhwat
bukan sih?"
"Ya, insya Allah
akhwat!"
"Yang bener?"
"Iya, dik
manis!"
"Kalau ikhwan itu
harus ada janggutnya, ya?!"
"Kok nanya gitu
sih?"
"Lha, Mas Gagah kan
ada janggutnya?"
"Ganteng kan?"
"Uuuuu! Eh, Mas,
kita kudu jihad ya?" Jihad itu apa sih?"
"Ya always dong,
jihad itu…"
Setetes, dua tetes air
mataku kian menganak sungai. Kumatikan lampu. Kututup pintu kamarnya
pelan-pelan. Selamat jalan Mas Ikhwan! Selamat jalan Mas Gagah!
Buat ukhti manis Gita Ayu Pratiwi, Semoga memperoleh umur yang berkah,Dan jadilah muslimah sejatiAgar Allah selalu besertamu.Sun sayang,
Mas Ikhwan, eh Mas
Gagah!
Sumber: sastrahelvy.com
Baca juga
Novelet Ketika Mas Gagah Pergi Bagian 1
Novelet Ketika Mas Gagah Pergi Bagian 2
Sumber: sastrahelvy.com
Baca juga
Novelet Ketika Mas Gagah Pergi Bagian 1
Novelet Ketika Mas Gagah Pergi Bagian 2
Komentar
Posting Komentar