Ada satu pertanyaan sederhana, namun tidak semua pasangan menikah dapat menjawabnya. Pertanyaan itu adalah, “mengapa ingin memiliki anak?” Bagi pasangan yang bertahun-tahun menikah namun belum juga dikaruniai anak, pertanyaan itu akan dijawab dengan lancar. Mereka sudah melewati ribuan hari tanpa tangis bayi, tiada canda tawa dengan anak-anak. Mereka menemukan banyak sekali alasan sehingga ingin sekali memiliki anak. Untuk pasangan yang sangat mudah dititipi anak oleh-Nya, pertanyaan mengapa ingin memiliki anak, bisa jadi terbersit pun tidak. Anak seolah hadir begitu saja. Baru saja menikah, beberapa bulan kemudian istri hamil. Setahun kemudian pasangan suami istri telah menjadi orang tua. Beberapa tahun kemudian, anak kedua, ketiga dan seterusnya lahir. Jawaban-jawaban berikut ini mungkin menjadi jawaban sekian orang tua saat mendapat pertanyaan tersebut: Saya ingin menciptakan kembali masa kecil yang indah Ngg…Semacam investasi untuk hari nanti Sebab saya percaya, kita akan m
Apa yang
kau ingat dari seorang guru yang pernah mengajarmu di sekolah? Kalau bukan
kebaikannya, pastilah keburukannya yang kita kenang. Ini ceritaku tentang
seorang guru di hari guru.
Guru yang Sering Ngomel
Dia
seorang guru perempuan, pengasuh mata pelajaran Biologi di SMAku dulu. Usianya
mungkin lebih dari 30 tahun saat itu. Sudah matang untuk membina rumah tangga.
Perawan tua, sering disematkan ke namanya oleh beberapa teman di luar kelas
jika kesal dengannya.
Aku juga
sempat tidak menyukainya. Dia sering mengomel di depan kelas. Omelannya terasa
panjang dan melebar ke mana-mana. Kelas menjadi hening. Hanya suara omelannya
saja yang terdengar. Suasana belajar di kelas jadi tidak nyaman lagi. Semangat
belajar menguap seketika.
Karena
kebiasaan mengomelnya itu, aku berharap tidak akan bertemu dengan dia lagi di
kelas III. Padahal aku memilih kelas IPA. Kecil kemungkinan tidak bertemu
dengan dia lagi. Apalagi jumlah guru di sekolahku terbatas.
Benar saja,
di kelas III IPA, pelajaran Biologi kembali diasuh olehnya. Karena kelas IPA,
bertambah pula jam pelajaran sains. Artinya, semakin sering aku dan teman-teman
sekelasku bertemu dengannya. Hanya saja, di kelas III, aku sudah terbiasa
dengan omelannya. Sepertinya teman-teman sekelasku juga. Di kelas III IPA, saat
guruku itu ngomel, kami sibuk dengan kegiatan rahasia: baca buku, corat-coret,
atau pasang tampang menyimak padahal pikiran berkelana entah ke mana. Omelannya
jadi angin lalu saja.
Soal
statusnya yang belum menikahpun semakin sering jadi bahan candaan. Misalnya si
ibu suka dengan seorang cowok di kelas III IPA. Sebab cowok ini kerap terhindar
dari omelan dan amarahnya, dan dianggap mendapat perlakuan spesial dari si ibu.
Kenal Lebih Dekat dengan Sang Guru
Satu
momen membuatku tahu sisi lain ibu guru ini. Pada lebaran terakhirku di SMA,
aku dan beberapa teman sanjo
(silaturahim saat lebaran) ke rumahnya. Kami mengendarai angkutan umum. Lokasi
rumahnya ternyata cukup jauh dari sekolah kami. Mungkin dia perlu waktu 1-2 jam
untuk datang ke sekolah. Setahuku dia juga pergi-pulang dengan kendaraan umum;
naik bus kota, angkot, dan becak! SMAku memang jauh dari jalan raya. Hanya ada
becak sebagai sarana angkutan. Pastilah ia berangkat dari rumahnya lepas subuh.
Tiba di
rumahnya, aku terkesima. Ia tinggal di rumah panggung kayu, khas rumah-rumah di
pinggir Sungai Musi. Cat dan warna kayu sudah memudar. Mungkin sudah puluhan
tahun usia rumah itu. Ketika memasuki rumah, aku lebih terkejut lagi. Guruku
itu tampil ala kadarnya seperti ibu rumah tangga kebanyakan, mengenakan pakaian
longgar seperti daster. Ia tengah berada di antara tumpukan pakaian, bentangan
kain, dan setrika. Begitu kami dipersilakan masuk, dia segera masuk ke dalam
kamar, berganti pakaian dan membereskan pakaian yang sudah disetrikanya.
Aku dan
teman-temanku kemudian mengobrol sekadarnya. Sedikit demi sedikit terkuaklah
kehidupan pribadinya; anak tertua, membiayai keluarga dan adik-adiknya.
Padahal, berapa sih gaji guru jelang tahun 2000 itu?
Beberapa
bulan kemudian kami lulus. Puluhan tahun selanjutnya beberapa temanku juga
menjadi guru. Kehidupan guru sekarang dan dua puluh tahun lalu, rasanya belum
berubah banyak, terutama guru sekolah negeri.
Empati untuk Guru
Usiaku sekarang,
mungkin sebaya dengan beberapa guruku di SMA dulu. Aku berusaha mereka-reka,
emosi-emosi apa yang ada pada guru-guruku saat kami dulu para muridnya :
asyik bercanda saat
ia menjelaskan?
ngobrol ketika ia berbicara
di depan kelas?
tertawa-tawa lepas
sedangkan ia dihimpit beban kehidupan?
lelah lahir batin tetapi
harus tetap mengajar?
kurang piknik padahal
sangat butuh bepergian untuk relaksasi?
Aku dan
teman-temanku dulu, mungkin belum punya pemikiran jauh ke depan, juga belum
punya empati tinggi. Kami tengah asyik menikmati masa remaja. Sebagian malah
sedang terjangkit virus merah jambu. Masa bodoh dengan segala emosi dan
kehidupan pribadi guru. Namun dengan sudut pandang orang dewasa saat ini, aku
merasa malu dengan sikap dan perlakuanku pada guru biologi itu, juga beberapa
guru lainnya.
Seandainya
aku kembali ke masa-masa SMA, dengan pemikiran dan pengalaman hidup yang sudah
kumiliki saat ini, aku akan berusaha menyingkap, apa yang tersembunyi dibalik
omelan seorang guru. Apakah ia sedang kesal dengan dirinya sendiri karena
merasa tidak mampu bersabar dengan perilaku bebal murid-muridnya? Mungkinkah ia sedang
frustasi karena masalah besar keluarganya? Omelan
mungkin cara yang ia lakukan tanpa sadar untuk mengalirkan emosi-emosi negatif
dalam dirinya.
Maka, aku
hanya bisa merangkai doa, semoga setiap tetes keringat dan air mata para guru
dicatat sebagai amal ibadah. Semoga dengan bertambah usia, ia semakin matang
dan bijaksana. Guru hanya manusia biasa dengan segala beban masalah keseharian
yang dihibur dengan lagu Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Mereka juga masih
berkembang dan belum berpengalaman menghadapi badai kehidupan.
Di hari
guru ini, aku menghaturkan salam hormatku untuk semua guru-guruku dan semua guru-guru
di mana saja berada.
Semoga ilmu bermanfaat yang diperoleh para muridmu akan menjadi pemberat timbangan amalmu di hari akhir nanti.
Aku lebih ingat ama guruku yang suka bikin tegang, misalnya suka nyuruh menjawab kalo gak bisa jawab disuruh maju ke depan atau dicubitnya, duh...tegangnya. itu Bu Romondang suka begitu apalagi dialek bataknya, bikin tambah tegang
BalasHapusKalau yang seperti itu, rasanya di tiap tingkat kelasku ada juga, deh ^_^
Hapusjadi inget pas waktu sekolah disuruh baca ke depan tegangnya ituloh bikin saya malu hehe
BalasHapusYa kalau terkait guru yang lebih mudah diingat biasanya yang negatifnya, termasuk ada juga guru yang sering ngomel gitu.
BalasHapusKalau pas reuni, guru seperti kadang masih sering kita singgung atau kita ingat2.
salam dari www.trimanto-ngaderi.blogspot.com
Ada juga yang baiknya, Mas. Kapan-kapan saya tulis ^_^
HapusJadi ingat masa-masa sekolah. Kalau gurunya galak, jadi benci sama pelajarannya. Alhasil nilainya mesti jeblok. 😠Kalau dimarahi guru, rasanya kesel pasti. Dendam juga. Nggak sadar kalau guru marah itu berarti aku melakukan kekeliruan.
BalasHapusSemoga jasa-jasa para guru, menjadi amalan yang tak pernah putus. ðŸ˜
Pelajaran apa, kah itu? Saya punya pengalaman yang sama dengan Key
HapusWah, orang Palembang toh mas..
BalasHapusSaya Bengkulu. Tetanggaan lah.. Hehehe
Salam