Ada satu pertanyaan sederhana, namun tidak semua pasangan menikah dapat menjawabnya. Pertanyaan itu adalah, “mengapa ingin memiliki anak?” Bagi pasangan yang bertahun-tahun menikah namun belum juga dikaruniai anak, pertanyaan itu akan dijawab dengan lancar. Mereka sudah melewati ribuan hari tanpa tangis bayi, tiada canda tawa dengan anak-anak. Mereka menemukan banyak sekali alasan sehingga ingin sekali memiliki anak. Untuk pasangan yang sangat mudah dititipi anak oleh-Nya, pertanyaan mengapa ingin memiliki anak, bisa jadi terbersit pun tidak. Anak seolah hadir begitu saja. Baru saja menikah, beberapa bulan kemudian istri hamil. Setahun kemudian pasangan suami istri telah menjadi orang tua. Beberapa tahun kemudian, anak kedua, ketiga dan seterusnya lahir. Jawaban-jawaban berikut ini mungkin menjadi jawaban sekian orang tua saat mendapat pertanyaan tersebut: Saya ingin menciptakan kembali masa kecil yang indah Ngg…Semacam investasi untuk hari nanti Sebab saya percaya, kita akan m
Pada usia berapakah seseorang mulai serius memikirkan pernikahan? Jika
pertanyaan itu kita lemparkan kepada orang-orang yang sudah menikah, mungkin
jawabannya akan berbeda-beda. Namun kisaran usia yang kita peroleh akan berada
pada rentang 18-30 tahun, saat seseorang memasuki tahap kehidupan dewasa awal.
Elizabeth B. Hurlock yang banyak menulis tentang psikologi perkembangan mendefinisikan orang dewasa sebagai individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya (Hurlock, 1999). Hurlock membagi periode dewasa menjadi dewasa muda (18 - 40 tahun), dewasa madya (40-60 tahun) dan dewasa tua (60 tahun sampai meninggal dunia).
Periode dewasa yang paling bergejolak adalah usia dewasa muda yang dimulai pada usia 18 tahun. Di Indonesia, seseorang yang berusia 18 telah berhak mendapatkan KTP, memiliki SIM, juga hak memilih dan dipilih dalam pemilu. Bahkan usia ini pun menjadi awal diperbolehkannya menonton film-film dengan muatan khusus dewasa. Kantor Urusan Agama pun mungkin lebih suka mengesahkan pernikahan pasangan yang minimal berusia 18 tahun daripada 16 tahun seperti yang disyaratkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Tidak heran jika seseorang yang melewati usia 18 tahun seolah menjadi manusia seutuhnya.
Periode dewasa yang paling bergejolak adalah usia dewasa muda yang dimulai pada usia 18 tahun. Di Indonesia, seseorang yang berusia 18 telah berhak mendapatkan KTP, memiliki SIM, juga hak memilih dan dipilih dalam pemilu. Bahkan usia ini pun menjadi awal diperbolehkannya menonton film-film dengan muatan khusus dewasa. Kantor Urusan Agama pun mungkin lebih suka mengesahkan pernikahan pasangan yang minimal berusia 18 tahun daripada 16 tahun seperti yang disyaratkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Tidak heran jika seseorang yang melewati usia 18 tahun seolah menjadi manusia seutuhnya.
Selain hak-hak yang diperoleh pada usia 18 tahun, Hurlock juga mengemukakan serangkaian tugas yang harus ditunaikan kaum dewasa muda. Tugas perkembangan dewasa muda antara lain: mulai bekerja, memilih pasangan, mulai membina keluarga, mengasuh anak, mengelola rumah tangga, mengambil tanggung jawab sebagai warga negara dan mencari kelompok sosial yang menyenangkan. Satu kata yang bisa kita garis bawahi dari tugas-tugas dewasa muda ini adalah pernikahan. Bagaimana menuju pernikahan dan menikmati gula, asam, dan garam dalam hidangan rumah tangga inilah yang diulas Afifah Afra dan Riawani Elyta dalam buku Sayap-sayap Sakinah terbitan Indiva Media Kreasi.
Seratus halaman pertama dari buku Sayap-sayap Sakinah menyajikan suka-duka menemukan pasangan dan mengikat diri dengan akad nikah. Ada dua cara umum menemukan pasangan yang dipaparkan penulis: memilih sendiri dan dijodohkan. Seseorang yang memilih pasangannya sendiri menempuh metode konvesional mencari pasangan bernama pacaran. Dua insan yang berpacaran cenderung menggunakan ketertarikan secara seksual atau syahwat untuk menemukan pasangan. Cara ini dapat berhasil dan sangat besar pula peluang gagalnya dalam menghantarkan sepasang insan ke pelaminan pernikahan. Perjodohan pun begitu. Ada yang menghasilkan pasangan langgeng, ada pula yang berakhir dengan perceraian. Satu cara mendapatkan pasangan yang menengahi pacaran dan perjodohan adalah pencarian jodoh yang melibatkan pihak ketiga.
Cara yang ketiga ini dituturkan cukup panjang oleh Afifah Afra berdasarkan pengalamannya pribadinya. Orang yang mencarikan Afra jodoh adalah guru mengaji yang sudah mengenal baik dirinya. Tak disangka, pria yang dipilihkan adalah seorang dokter muda yang pernah menghadirkan desir aneh di dada Afra dalam pertemuan yang tak disengaja di satu rumah sakit. Setelah istikharah dan memasrahkan diri kepada-Nya, Afra bersedia menikah dengan lelaki itu. Kini mereka tengah menanti kelahiran anak ke-4 dalam 12 tahun usia pernikahan.
Ilustrasi karya Danang Kawantoro |
Tujuh bab selanjutnya, Sayap-sayap Sakinah mengulas seputar hari-hari pernikahan, mulai dari masa pinangan, menuju pelaminan, juga malam pertama. Soal malam pertama, penulis tidak menyajikan drama yang berlebihan, namun di tujuh bab ini pembaca lajang akan mendapat bekal menghadapi hari-hari yang akan mengubah status gadis menjadi istri dan perjaka menjadi suami. Pada bab-bab berikutnya, berbagai masalah yang mungkin menguji ikatan pernikahan dipaparkan lalu ditutup dengan puisi-puisi cinta Afifah Afra.
Pembahasan berbagai topik pranikah dan pengantin baru dalam Sayap-sayap Sakinah ini sebagian besar diperkuat dengan ayat-ayat Al Qur’an, Hadist, dan Siroh Rasulullah dan para sahabat. Beberapa teori psikologi misalnya Teori Segitiga Cinta Stenberg dan fisiologi orang yang jatuh cinta juga hadir sebagai rujukan penyeimbang meskipun porsinya masih sedikit. Pengalaman pribadi penulis, khususnya Afifah Afra menjadi semacam studi kasus guna memperkuat argumennya. Afra tidak hanya menuturkan kisah diri dan suami, tetapi juga beberapa fragmen kehidupan pernikahan ayah-ibu dan kakek-neneknya.
Sayangnya, pembaca lebih banyak menemukan kisah-kisah pribadi Afifah Afra saja. Riawani Elyta belum membagikan kisah pribadinya kecuali sedikit konflik dengan sang suami dalam bab Dia Begini, Aku Begitu (halaman 203) dan kisah-kisah kerabatnya saja. Hal ini membuat Afifah Afra seolah mendominasi dan Riawani Elyta menjadi pelengkap saja. Mungkin ini sudah sesuai dengan porsi yang disepakati, karena di akhir kata pengantar Afifah Afra menuliskan namanya feat Riawani Elyta.
Gaya menulis keduanya memang sepintas sama. Namun dalam menyampaikan gagasan, Afifah Afra cenderung membahas masalah secara naratif dengan pilihan kata variatif, sedangkan Riawani Elyta lebih suka memberikan tips berdasarkan logika. Untunglah tulisan kedua penulis ini disusun berselang seling sehingga pembaca mendapat sajian yang tidak monoton.
Setiap bab dalam Sayap-sayap Sakinah ini memang dapat kita baca secara acak. Namun saya yakin, sebagian besar pembaca akan membaca tiap bab dari depan ke belakang berurutan. Terutama bagi pembaca yang masih lajang. Kemungkinan pembaca lajang akan membaca bagian pranikah terlebih dahulu, sebelum bagian walimah dan pascanikah. Tuntutan membaca berurutan itu juga tersirat dari para penulis yang sering mengharapkan pembaca untuk membaca bab A sebelum bab B.
Sayap-sayap Sakinah ini menyasar pembaca lajang atau mereka yang akan menikah. Namun saya yang telah memasuki usia pernikahan tahun ketujuh turut menikmati isi Sayap-sayap Sakinah. Saya bagai diingatkan lagi visi-misi pernikahan yang pernah saya canangkan. Saya juga berkaca; melihat diri, mengamati posisi saat ini, apakah telah terbang menuju sakinah? Sepertinya saya masih dalam perjalanan menuju sakinah. Buku ini memberikan sayap baru bagi saya untuk menunaikan tugas-tugas perkembangan dewasa muda dalam rangka menggapai jannah-Nya.
Rujukan
Hurlock, E.B. (1999). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi kelima. Jakarta: Erlangga.
Judul Buku : Sayap-sayap Sakinah
Penulis : Afifah Afra dan Riawani Elyta
Penerbit : Indiva
Cetakan I : Juli 2014
Tebal : 239 halaman
Harga : Rp44.000
ISBN : 978-602-1614-22-8
Terima kasih ya resensinya :) saya memang agak sulit menceritakan kisah hidup sendiri, lebih nyaman nulis kisah fiksi :)
BalasHapusMeskipun begitu, saya jadi pengen hunting buku-buku Mbak yang lainnya, nih
Hapusmantap Ko, ulasannya detail
BalasHapusNulisnya ngebut, berasa masih ada yang kurang
HapusResensinya bagus dan detail ^^
BalasHapusTerima kasih sudah mampir dan membaca resensi ini
HapusWaaah, wajiib baca gak ini mas koko? Masih bujeng nih. Hehe
BalasHapusWajaib baca, Ri. Terutama Bab tentang Malam Pertama :-P
HapusKita yang sudah sekian tahun menikah tetap perlu buku seperti ini. Selain mengenang masa lalu, juga untuk pengingat bahwa kita pernah berharap untuk sakinah dalam rumah tangga
BalasHapusResensinya bagus... berhasil mengaitkan isi buku dengan teori lain yang tak terdapat dalam buku.
BalasHapusSuka suka ulasannya Mas Ko, kereen euy, pantes juara ^o^
BalasHapus