Ada satu pertanyaan sederhana, namun tidak semua pasangan menikah dapat menjawabnya. Pertanyaan itu adalah, “mengapa ingin memiliki anak?” Bagi pasangan yang bertahun-tahun menikah namun belum juga dikaruniai anak, pertanyaan itu akan dijawab dengan lancar. Mereka sudah melewati ribuan hari tanpa tangis bayi, tiada canda tawa dengan anak-anak. Mereka menemukan banyak sekali alasan sehingga ingin sekali memiliki anak. Untuk pasangan yang sangat mudah dititipi anak oleh-Nya, pertanyaan mengapa ingin memiliki anak, bisa jadi terbersit pun tidak. Anak seolah hadir begitu saja. Baru saja menikah, beberapa bulan kemudian istri hamil. Setahun kemudian pasangan suami istri telah menjadi orang tua. Beberapa tahun kemudian, anak kedua, ketiga dan seterusnya lahir. Jawaban-jawaban berikut ini mungkin menjadi jawaban sekian orang tua saat mendapat pertanyaan tersebut: Saya ingin menciptakan kembali masa kecil yang indah Ngg…Semacam investasi untuk hari nanti Sebab saya percaya, kita akan m
Lebaran kali ini saat mudik ke kampung halaman istri, di satu desa di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, saya bertemu lagi dengan Mak Cas. Ya, itulah sapaan perempuan tua, berusia lebih dari 70 tahun tersebut. Ia hidup sebatang kara. Suaminya telah lama meninggal dunia dan mereka tidak memiliki anak. Sanak saudara? Entah di mana.
Mak
Cas berperawakan kecil dengan kulit sawo matang yang menggelap karena terbakar
sinar matahari. Uban-uban di kepalanya tertutup kerudung seadanya. Ia berdiri
di depan rumahnya usai shalat Idul Fitri. Saya coba tersenyum seraya
menangkupkan tangan kepadanya.
Saya
kemudian melirik rumah di belakang Mak Cas, tempat ia berteduh. Rumah yang
tampak sama seperti 7 tahun lalu, saat saya melaksanakan akad nikah di desa
ini. Atap gentengnya kehitaman. Dinding kayu sudah terlihat lapuk. Lantai
berupa tanah padat. Kamarnya satu dengan perabotan usang. Di seberang, dan samping
kanan-kiri, rumah tetangga yang umurnya sama dengan rumah Mak Cas telah dipugar, megah; hasil keringat salah satu
keluarga yang bekeja sebagai TKI di luar negeri.
Untuk
kehidupan sehari-hari, Mas Cas sering mendapat uluran dari tetangga sekitar
rumahnya. Ibu mertua saya yang dipanggil Mi Haji, salah satu orang yang sering
memberikan bantuan untuk Mak Cas. Mi Haji berempati pada kondisi dan kehidupan
Mak Cas. Salah satu alasannya, usia mereka sebaya.
Pernah
istri saya mengusulkan kepada Mi Haji, “Mi, bagaimana kalau Mak Cas ikut kita
ke Bandung aja, gimana? Mungkin bisa sedikit bantu-bantu di rumah.”
“Enggak
bisa. Dia itu sering sakit-sakitan. Di perumahan kamu juga sepi. Lebih baik di
sini. Mak Cas masih ada temannya.”
Di
usia senja seperti itu, sudah selayaknya Mak Cas diurus oleh kerabat keluarga. Namun
keadaannya yang tidak memiliki keluarga dekat membuatnya harus mengurus diri
sendiri.
Di
desa kelahiran istri saya ini, pada saat lebaran, sebagian orang sering
memberikan uang kepada anak-anak. Biasanya uang kertas baru. Beberapa orang
yang bekerja di luar negeri sering pula membagikan uang kertas asal negara
tempat ia bekerja. Mak Cas yang tergolong fakir miskin ternyata juga
mendapatkan sejumlah uang dari beberapa orang. Ia menyimpan uang pemberian
orang-orang itu di lipatan pakaiannya.
Mak
Cas ternyata juga ingin berbagi rejeki pada anak-anak yang bersalaman padanya
di hari Idul Fitri. Ia mengambil uang dari lipatan pakaiannya dan memberikan
kepada beberapa anak. Sayangnya, sebagian uang kertas yang diberikan Mas Cas
bukan uang baru, melainkan uang kertas kusam dengan nominal yang tidak
seberapa. Meskipun begitu, saya kagum dengan semangat berbagi Mak Cas itu.
Siang
hari saat rutinitas silaturahim Idul Fitri mulai berkurang, saya duduk di
teras. Beberapa meter dari tempat saya duduk, ada sekelompok anak kecil usia SD
yang tengah menghitung uang di atas bale-bale bambu. Beberapa di antara mereka keponakan
dan masih terhitung kerabat keluarga. Sepertinya, cukup banyak uang lebaran yang
mereka dapatkan sejak pagi. Seorang anak, baru menyadari, ada uang kumal di
antara lebaran uang barunya. Ia mengatakan sesuatu kepada anak lain, lalu
meremas uang itu jadi serupa bola dan melempar uang tersebut ke arah kali.
Hati
saya seolah tertusuk panah. Pipi ini bagai ditampar.
Saya
jadi teringat lembar-lembar uang kumal yang diberikan Mas Cas. Saya jadi merasa
bersalah. Pemberian lembaran-lembaran uang baru tanpa pengajaran, sistem reward-punishment
kah yang membentuk perilaku membuang uang kumal itu?
Di
hari Idul Fitri saya bersedih. Terlebih keesokan harinya saya mendengar cerita dari istri tentang salah satu sanak saudara yang sudah kuliah tetapi mengeluh pendapatan 'THR' yang diperolehnya tahun ini menurun. Ada juga kakak ipar yang tersinggung karena uang lebaran yang diberikannya sering dibanding-bandingkan nilainya dengan uang lebaran pemberian orang lain oleh seorang anak.
Tahun depan saya harus merancang strategi baru agar anak-anak lebih paham makna uang. Mereka juga harus memiliki empati tinggi kepada orang yang sebenarnya berpenghasilan pas-pasan tetapi masih berusaha memberi uang lebaran. Sekadar memberi lembaran uang kertas baru di tahun ini dan tahun lalu tak boleh terulang lagi.
Tahun depan saya harus merancang strategi baru agar anak-anak lebih paham makna uang. Mereka juga harus memiliki empati tinggi kepada orang yang sebenarnya berpenghasilan pas-pasan tetapi masih berusaha memberi uang lebaran. Sekadar memberi lembaran uang kertas baru di tahun ini dan tahun lalu tak boleh terulang lagi.
Uang lebaran, mudah diperoleh anak sehingga kurang bermakna |
Artikel
ini diikutsertakan dalam #GiveAwayLebaran yang disponsori oleh Saqina.com, Mukena Katun Jepang Nanida, Benoa Kreati, Sanderm, Dhofaro, dan Minikinizz
jadi iba. kasian Mak Cas..
BalasHapusIya, nih. Jadi kepikiran juga, apa yang bisa kulakukan untuk membantu Mak Cas, ya...
HapusDi tempat saya tinggal, banyak yang seperti Mak Cas. Sedih. Harusnya, mereka ngumpul bareng anak cucu, nyatanya merwka sendirian di hari raya. Semoga Allah beri kebahagian buat Mak Cas.
BalasHapusIya, sepertinya ada di mana saja....
Hapussempat ada juga didekat rumah saya yg memberi uang kertas lecek kepada sanak saudara. melihatnya jadi malu sendiri
BalasHapusMemang ada orang-orang yang renah hati seperti itu, mereka tetap berbagi meskipun dirinya sendiri kekurangan
HapusSalut sama orang yang sebenarnya belum mampu, tapi berani menyisihkan sebagian rezekinya untuk oranglain. Tulisan ini jadi pengingat bagi diri untuk tetap rendah hati. Terimakasih, Koko Nata :)
BalasHapusOya, sekalian mau info, masih ada kesempatan ikutan #GiveAwayLebaran dgn total hadiah hingga 3 juta! Cek info disini yaa: http://heydeerahma.com/index.php/2015/07/13/kontes-blog-giveaway-lebaran-bersama-heydeerahma Ajak teman-temannya juga yaa~ :)
-Dee-
Terima kasih juga atas kunjungannya, Mbak Dee. Amin, semoga kita menjadi orang yang selalu bersyukur
Hapusamiiiiiiiiiin... sama-sama koko nata :) terimakasih ya sudah ikut #GiveAwayLebaran :)
Hapussering-sering yaaah main ke blogku heydeerahma.com ;)
=Dee=
Memang ya, anak-anak suka begitu. Tanggung jawab kita, selaku orang tua atau yang jauh lebih tua, untuk menyisipi pesan moral kepada mereka. Jangan pandang jumlah/nilainya, melainkan niat dan keikhlasan dalam memberi, itu yang utama. :)
BalasHapusHiks... sungguh sedih jika kita hidup tanpa sodara, ya? Semoga Mak Cas tetap sehat dan mendapatkan perhatian lebih dari orang-orang di sekitarnya.
BalasHapus