Ada satu pertanyaan sederhana, namun tidak semua pasangan menikah dapat menjawabnya. Pertanyaan itu adalah, “mengapa ingin memiliki anak?” Bagi pasangan yang bertahun-tahun menikah namun belum juga dikaruniai anak, pertanyaan itu akan dijawab dengan lancar. Mereka sudah melewati ribuan hari tanpa tangis bayi, tiada canda tawa dengan anak-anak. Mereka menemukan banyak sekali alasan sehingga ingin sekali memiliki anak. Untuk pasangan yang sangat mudah dititipi anak oleh-Nya, pertanyaan mengapa ingin memiliki anak, bisa jadi terbersit pun tidak. Anak seolah hadir begitu saja. Baru saja menikah, beberapa bulan kemudian istri hamil. Setahun kemudian pasangan suami istri telah menjadi orang tua. Beberapa tahun kemudian, anak kedua, ketiga dan seterusnya lahir. Jawaban-jawaban berikut ini mungkin menjadi jawaban sekian orang tua saat mendapat pertanyaan tersebut: Saya ingin menciptakan kembali masa kecil yang indah Ngg…Semacam investasi untuk hari nanti Sebab saya percaya, kita akan m...
Siapa
yang punya kakek atau nenek dan sering jengkel dengan kepikunan mereka? Nah, cerpen
berjudul Maafkan Aku, Kek ini mengingatkan kita agar selalu menghormati kakek
dan nenek kita. Cerita karya Ahmad Ali Ashshidiqi menduduki peringkat tiga
dalam Lomba Menulis Cerita Anak (LMCA) 2012 yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan. Silakan baca dengan perlahan, serapi maknanya. Semoga kamu
terinspirasi untuk selalu berbuat baik terhadap orang tua, terutama mereka yang
sudah lanjut usia.
Maafkan
Aku, Kek
Aku adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Namaku Anggito
Wiryawan. Aku biasa dipanggil ‘Tito’. Aku dilahirkan di Sorong, 10 Februari
2001. Aku adalah siswa kelas enam di SD Al Irsyad Kota Sorong, Papua Barat. Dua
kakak perempuanku telah kuliah dan tidak tinggal serumah dengan orangtuaku.
Kakak pertama bernama Paramitha Wiryawan. Dia kuliah di STIS Jakarta. Kakak
kedua bernama Maharani Wiryawan. Dia kuliah di AMG Jakarta. Kakak perempuan
ketiga bernama Windyani Wiryawan. Dia biasa dipanggil ‘Windy’, dan masih
tinggal serumah dengan orangtuaku karena masih kelas 2 SMA.
Ayahku bernama Wiryanto. Dia seorang pelaut yang
bekerja di kapal udang. Dia sering berlayar meninggalkan kami selama 2 – 3
bulan. Ibuku bernama Wantini seorang guru di sebuah SMPN di Kota Sorong. Nama
belakangku dan kakakku adalah gabungan antara nama ayah dan nama ibu. Selain
itu tinggal pula kakek di rumahku. Dia adalah orang tua dari ayahku. Dahulu
kakek juga seorang pelaut. Dia seorang prajurit Angkatan Laut. Sedang nenek sudah
meninggal lebih dulu. Rumah kakek telah dijual oleh anak-anaknya. Kakek tidak
mempunyai rumah lagi. Kakek meminta tinggal di rumah kami, karena rumah kamilah
yang paling besar.
Seperti biasa ayah pergi berlayar dengan kapal udangnya.
Suasana rumah serasa sunyi. Jika ayah di rumah, ayah pasti orang yang sering menegurku
kalau aku terlalu lama bermain. Misalnya bermain Play Station, Online, dan
nonton televisi. Jika ayah pergi, ibu yang menegurku, tetapi tidak sekeras
ayah.
Suatu hari sepulang sekolah, ibu membawa kabar yang
mengejutkan. Ibu mengatakan, ”Ibu mendapat tugas untuk penataran ke Jakarta”.
Aku bertanya, ”Berapa lama, Bu?”
“Hanya dua minggu,” jawab ibu.
Kepalaku langsung pusing. “Apa jadinya kalau dirumah
tanpa ibu selama dua minggu?” tanyaku dalam hati.
Sehari sebelumnya, Kak Windy juga berangkat ke
Bandung untuk mengikuti pekan karya ilmiah. Aku bingung membayangkan harus
menjaga kakek yang telah pikun. Ingin rasanya kularang ibu agar tidak pergi, kataku
dalam hati. Tetapi tidak bisa, karena ini adalah salah satu tugas ibu sebagai
guru.
“Soal makan, kamu tidak usah khawatir,” kata ibu.
“Ibu sudah titip Bude Ning memasak untuk kamu dan
kakek”, lanjutnya.
Bude Ning adalah tetangga sebelahku yang sangat
dipercaya ibuku. Bude Ning juga adalah teman SMA ibuku. Jadi, wajar jika ibu
meminta tolong pada Bude Ning.
Tiga hari kemudian, ibu berangkat ditemani oleh rekan
guru dari sekolah ibu. Aku tidak mengantar karena harus sekolah. Di sekolah, aku
berpikir bagaimana menjaga kakek yang pikun. Melihat wajahku yang bingung,
Fandi memanggilku. Fandi adalah sahabat yang sangat kupercaya walau dia penganut
agama Kristen Protestan.
“Mengapa kamu melamun?” tanya Fandi.
“Aku ditinggal ibuku. Terpaksa aku harus menjaga
kakek yang pikun.” jawabku.
“Kamu harus sabar,....” kata Fandi.
Aku sedikit bingung dengan perkataan Fandi.
Sepertinya masih ada kata-kata yang akan diucapkannya.
Jam satu siang aku pulang sekolah. Setelah mengganti
baju, kemudian aku makan siang. Kulihat piring bekas kakek makan siang. Nasi putih,
sayur rebung dan ikan goreng kusantap dengan cepat karena lapar. Tiba-tiba aku
mendengar suara kakek.
“Tito ambilkan piring, Kakek mau makan.” kata kakek.
Aku terkejut. “Bukankah Kakek sudah makan?” tanyaku.
“Kakek belum makan, dari tadi Kakek tidur”, jawab
kakek.
Aku mengambil piring dengan pikiran bingung.
“Mana ikan kuah kuningnya? Kenapa kamu habiskan, itu
makanan kesukaan Kakek?” tanya kakek sambil marah.
“Kek, hanya ada ikan goreng, bukan ikan kuah kuning”,
jawabku.
Kakek tetap membantah. Kakek menyuruhku meminta di Bude
Ning.
Aku menjawab, ”Tidak mau, aku malu. Bude kan punya
tiga anak laki-laki yang sudah besar, pasti makannya juga banyak”. Walaupun
begitu kakek tetap memaksaku. Aku mengalah. Aku teringat kata-kata Fandi, kita
harus sabar kepada orang tua.
Kemudian aku ke rumah Bude Ning meminta ikan kuah
kuning. Tetapi Bude Ning tidak memasaknya. Bude menyuruhku untuk membeli ikan
kuah kuning di warung. Sesampai di rumah, aku menyuruh kakek untuk makan.
Sungguh aku sangat kesal ketika kakek berkata, ”Kakek
tidak lapar, Kakek mau menonton televisi”.
“Aaaagh”, sambil meletakkan mangkok berisi ikan kuah
kuning kesukaan kakek. Tiba-tiba ibu mengirim SMS. Di pesan masuk tertulis, ‘Ibu
sedang transit di Makassar’. Aku menelpon dan menceritakan kejadian tadi kepada
ibu. Ibu menasihatiku agar sabar. Ibu menyuruhku shalat dzuhur karena waktu
shalat sudah hampir habis.
Hari ini libur sekolah, karena para guru mengikuti
KKG yang diadakan di sekolahku. Setelah shalat subuh aku tidur lagi. Jam
delapan pagi, kakek membangunkanku untuk pergi sekolah.
“Aku libur, Kek” jawabku lalu tidur lagi. Tetapi
akhirnya, aku bangun juga karena kakek terus menepuk-nepuk punggungku.
Setelah makan pagi, aku menonton televisi. Saat itu
di Trans TV sedang ditayangkan Islam Itu Indah bersama Ustadz M. Nur Maulana
yang terkenal dengan sapaan, ”Jamaaah....... Alhamdulillah.” Ustadz sedang
membahas masalah merawat orang tua. Beliau berkata, ”Merawat anak lebih mudah
daripada merawat orangtua, karena merawat anak semakin lama semakin pintar.
Sebaliknya merawat orang tua semakin lama semakin menjengkelkan. Tetapi kalau
kita sanggup dan sabar dalam merawat orangtua, maka Allah SWT menjanjikan pahala
surga”.
Nyaris saja aku menitikkan air mata. Aku hampir tidak
mau lagi merawat kakek yang pikun. Aku pun berdoa kepada Allah SWT agar kakek
tetap sehat dan daya ingatnya masih baik. Aku harus membalas budi karena kakek
yang menjaga aku ketika ibu dan ayah bekerja. Aku juga berdoa, semoga anakku
dan cucuku akan merawatku dan tidak kesal jika aku sedikit pikun dan pelupa.
Kakek, maafkan kesalahanku, doaku dengan sangat khusyuk.
Tiba-tiba terdengar suara, ”Braak”. Aku segera
berlari ke kamar kakek. Aku melihat kakek terlentang di lantai. Aku menangis
dan berteriak meminta tolong. Aku menggoyang-goyang tubuh kakek, tetapi kakek
diam saja.
Suami Bude Ning, Pakde Anton, datang ke rumah. Aku
melihat ia menelpon seseorang. Beberapa saat setelah Pakde Anton menelpon
seseorang, ada mobil datang dan Pakde membawa kakek ke rumah sakit.
Aku masih menangis ketika Bude Ning datang ke rumah. Bude
menceritakan kalau kakek harus dirawat di rumah sakit. Bude berkata, “Pakde
sudah menelpon ayah, mungkin besok lusa ayah baru tiba. Mas Bin akan menemani
kamu”.
Dua hari kemudian ayah tiba di rumah. Ayah mengajakku
ke rumah sakit. Aku sedikit lega. Kakek terlihat lebih sehat. Ketika aku masuk,
kakek sedang berbicara dengan orang yang datang menjenguk kakek. Mungkin teman
lama kakek .
“Ini cucu laki-laki saya, ganteng ya, dia selalu
ranking satu”, kata kakek sambil tertawa membanggakanku Di depan teman kakek.
Dalam hati aku berkata, “Ternyata kakek sangat bangga
dan sayang kepadaku”. Aku jadi sedih mengingat kelakuanku pada kakek selama
ini. Walau aku memperlakukan kakek dengan tidak baik, tetapi kakek membanggakan
aku di depan teman-temannya.
Siang itu, ayah dan aku pergi ke Bandara. Kami
menjemput Kak Windy yang tiba dari Bandung. Setelah membawa koper ke rumah, kami
langsung menuju ke rumah sakit.
Di depan kamar kakek, kami mendengar kakek sedang
mengaji. Kami mengetuk pintu, lalu kami masuk. Kakek tersenyum lebar ketika
melihat kak Windy.
“Apakah kamu mendapat juara?” Tanya kakek.
Kak Windy menggelengkan kepala dengan lemas. Kak
Windy terlihat sangat lesu.
“Tidak apa-apa, kegagalan itu biasa. Kamu harus lebih
giat belajar.” Tiba-tiba aku dikejutkan dengan tepukan kakek pada bahuku, ”Tito
juga harus rajin belajar dan lebih sayang kepada orangtua. Hiburan boleh saja
tetapi tidak boleh berlebihan”.
Kemudian kakek mengatakan kalau kakek ingin tidur.
Kami pun pergi ke warung makan karena kak Windy belum makan. Sepulang dari warung
makan, kami membawa makanan kesukaan kakek, papeda dan ikan kuah kuning. Aku
menepuk bahu kakek dengan perlahan agar kakek bangun. Tetapi kakek tidak kunjung
bangun. Wajahnya terlihat damai saat tidur.
Ayah menyuruh seorang suster agar melihat keadaan
kakek. Bagai disambar petir, ketika suster berkata kakek telah meninggal dunia.
Aku sangat menyesal. Aku merasa akulah yang
menyebabkan kakek meninggal karena kelakuanku yang tidak baik. Aku begitu sedih
dan menyesal dengan apa yang kulakukan. Air mataku terus berlinang sambil
memohon maaf kepada kakek. “Maafkan Tito, ya Kek. Tito menyesal tidak berbuat
baik kepada Kakek selama ini. Ya Allah Ampunilah salah dan dosaku. Belum sempat
aku berbuat baik kepada Kakek, tetapi mengapa Engkau telah memanggilnya? Ampuni
juga dosa Kakek.Terimalah amal ibadahnya. Tempatkanlah Kakek di surga-Mu,
amiien, amiien yaa robbal alamin” pintaku dalam doa.
Beberapa hari kemudian.
Di suatu sore yang cerah, kami berempat duduk-duduk.
Bunga eforbia telihat mekar dengan indah. Aku ingat, kakek paling senang melihat
bunga ini saat mekar. Setelah aku melihat bunga eforbia, ayah mengajakku ke
bandara. Ternyata, sekarang ibu akan pulang. Kami menjemput ibu. Kulihat wajah
ibu campur aduk antara sedih dan senang. Tanpa sepengetahuanku, kak Windy
memberitahu ibu jika kakek telah meninggal. Setelah pulang dari bandara, aku ke
ruang keluarga, kubuka album foto. Ada foto kakek sedang menggendongku. Ada
juga foto kakek bersama kakak-kakak perempuanku. Kalau diperhatikan, wajahku
mirip dengan wajah kakek.
Biasanya anak mirip dengan orangtuanya, namun aku berbeda.
Aku lebih mirip dengan kakekku daripada orangtuaku. Tidak terasa air mata telah
mengalir di pipiku. Aku harus merelakan kepergian kakek. Aku sekarang mengerti
apa yang dirasakan Fandi ketika dia menasehatiku. Ternyata kakek Fandi juga
telah meninggal.
Adzan magrib terdengar ditelingaku. Aku pun ke masjid
dan berdoa agar kakek dirahmati Allah SWT dan orangtuaku tidak meninggal begitu
cepat. Tak beberapa lama libur berakhir. Kehidupanku kembali seperti dulu,
walau kakek telah meninggal. Kita harus menjaga orangtua dengan sabar, karena
hidup mereka tidak lama lagi dan mereka bisa saja akan pikun. Kata-kata yang
terakhir kuucapkan untuk kakek, “Selamat tinggal, Kek.” [*]
Keterangan: papeda adalah makanan pokok di Papua,
terbuat dari sagu.
so sweet, hiks ingat kedua ortu en pamanku
BalasHapus