Ada satu pertanyaan sederhana, namun tidak semua pasangan menikah dapat menjawabnya. Pertanyaan itu adalah, “mengapa ingin memiliki anak?” Bagi pasangan yang bertahun-tahun menikah namun belum juga dikaruniai anak, pertanyaan itu akan dijawab dengan lancar. Mereka sudah melewati ribuan hari tanpa tangis bayi, tiada canda tawa dengan anak-anak. Mereka menemukan banyak sekali alasan sehingga ingin sekali memiliki anak. Untuk pasangan yang sangat mudah dititipi anak oleh-Nya, pertanyaan mengapa ingin memiliki anak, bisa jadi terbersit pun tidak. Anak seolah hadir begitu saja. Baru saja menikah, beberapa bulan kemudian istri hamil. Setahun kemudian pasangan suami istri telah menjadi orang tua. Beberapa tahun kemudian, anak kedua, ketiga dan seterusnya lahir. Jawaban-jawaban berikut ini mungkin menjadi jawaban sekian orang tua saat mendapat pertanyaan tersebut: Saya ingin menciptakan kembali masa kecil yang indah Ngg…Semacam investasi untuk hari nanti Sebab saya percaya, kita akan m
Kadangkala
kita malu dengan tanah kelahiran kita di desa yang jauh dari keramaian kota.
Desa yang cenderung sepi, remang-remang, dan sedikit hiburan seolah bkan
pilihan bagus untuk menetap hingga tua. Sebagian orang berlomba-loma datang ke
kota untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Padahal banyak hal menarik di
desa yang tidak bisa kita temukan di kota.
Seperti kisah Topeng Arang Seruni. Seruni dan kawan-kawan senang bermain di bawah
pohon beringin baik siang maupun malam. Setiap bulan purnama mereka bermain
dengan wajah berpoles arang. Masalah terjadi saat pohon beringin itu akan ditebang karena
beberapa alasan.
Logika
cerita dan penyelesaian cerpen ini khas anak-anak. Padahalam masalah inti yang
dikemukakan sebenarnya berat yaitu pohon yang menjadi sumber penghidupan, baik
sumber daya alam maupun sumber ekonomi. Berbagai keunggulan tersebutlah yang
mungkin menjadikan Topeng Arang Seruni meraih juara 3 pada Lomba Menulis Cerita
Remaja 2012 oleh Kemendikbud Dirjen Dikdas Republik Indonesia. Cerita
selengkapnya silakan baca tuntas sendiri.
Topeng Arang Seruni
Oleh:
Hurin Aghnia Nur Ainani
Seruni
menghias wajahnya dengan jelaga di depan cermin. Sungguh wajah Seruni telah
berubah menjadi topeng. Hanya matanya nampak masih bening memancarkan cahaya.
Seperti malam purnama sebelumnya, kali ini dia bersama teman-temannya ingin menghabiskan
malam dengan bermain topeng arang. Persis seperti kesenian dongkrek dari
Madiun, Seruni dan kawankawan biasa bermain dan berjoget menyambut bulan
purnama. Permainan ini menjadi hiburan masyarakat kampung di tengah kesibukan
mereka membakar kayu untuk dijadikan arang.
Rambutnya
ditutup dengan rambut palsu yang biasanya digantung di atas kaca riasnya.
Bapaknya sengaja membelikan rambut palsu hampir mirip dengan rambut raksasa
dalam permainan wayang orang saat diajak Juragan Leman melihat pameran seni dan
budaya Reog Ponorogo waktu itu. Sebentar lagi, bulan benar-benar menampakkan
lingkarnya yang bulat, indah memancarkan wajah halusnya.
Seruni
sudah tak sabar ingin ke luar rumah. Pasti teman-temannya juga sudah dandan
seperti dirinya dan seperangkat gamelan –gong, kenong dan kendang– juga pasti
sudah disiapkan di tanah lapang milik Pak Gampang, Juragan terkaya penjual arang
di perkampungan Wonomulya itu. Di sanalah anak-anak kampung biasa menghabiskan
hari-harinya untuk berkumpul dan bermain sehabis sekolah, atau malam sehabis
dari masjid dan belajar. Apalagi jika malam minggu, mereka ramai membuat acara
sendiri di sana. Khas anak kampung Wonomulya.
Setelah
berpamitan seperti biasa dengan Bapaknya, Seruni langsung berlari menuju rumah
tetangganya. Di rumah Lintar, nampak semua telah berkumpul. Wajah mereka sangat
lucu, menghitam, hingga satu per satu tak ada yang mengenal jika tak dari
suaranya.
Dari
kejauhan terdengar gamelan mirip gamelan reog telah dibunyikan. Rupanya tanah
lapang sudah penuh dengan warga yang ingin melihat kebolehan Seruni dan kelompoknya
menari. Di ujung sebelah timur tanah lapang ini menjulang kokoh sebatang pohon
beringin tua. Di bawahnya sebuah belik bening mendingin airnya. Burung malam sesekali
membuka nyanyian sunyi mendirikan bulu kuduk. Meski begitu, tak ada yang merasa
takut keluar rumah. Mereka telah bersahabat dengan alam dan seisinya seperti
bagian dari alir darah mereka.
Seruni,
Lintar, Berlian, Salim dan Fairus, sampai di lapangan langsung menghambur ke
tengah-tengah penonton, memamerkan gerakan lenggak lenggoknya menari. Tak
jarang anak-anak kecil yang lain ikut-ikutan memoles wajahnya dengan arang lalu
ikut berjoget dengan gaya masing-masing. Kelucuan ini menimbulkan gelak tawa
para orang tua yang bangga, anak-anak mereka tak malumalu menari.
Kadang
atas kesadaran sendiri, para orang tua memberikan uang koin seikhlasnya untuk
membeli minuman atau sekedar makanan kecil jika mereka lelah usai menari. Lalu
jika mereka bosan dengan permainan itu, mereka ganti bermain Gobak Sodor, masih
dengan wajah yang menghitam. Mereka belajar kejujuran lewat sentuhan teman yang
menjaga di garis batas, setiap ruang harus dimasuki tanpa harus tersentuh oleh
penjaganya. Jika salah satu anggota badannya tersentuh, maka permainan usai.
Berarti tim yang tersentuh kalah. Begitu juga banyak ruang harus dilalui untuk
memenangkan permainan. Mereka beranggapan bahwa segala jerih payah dalam hidup
harus dilalui tahap demi tahap dengan kerja keras, hingga mereka kembali ke
tempat semula. Jika sudah dudur maka berhasil lah tim itu memenangkan
permainan. Itulah permainan gobak sodor. Malam makin melingkarkan bulan ke
peraduan sesungguhnya. Dan mereka pulang, tersenyum dalam lelap mimpi tak
bertepi.
*
* *
Siang
begitu menyengat. Seruni dan beberapa temannya berlari berhamburan di jalan
setapak menuju perkampungan Wonomulya. Dari arah berlawanan para warga berjalan
tergesa. Matanya nanar kemerahan seperti menunjukkan rasa marah luar biasa. Di
salah satu tangan mereka mengepal senjata apa saja. Ada yang membawa sabit,
kapak, cangkul, golok dan kebanyakan membawa potongan kayu. Seruni dan teman-temannya
semakin takut. Mereka berlari ingin segera sampai kerumah masing-masing. Salah
seorang dari anak-anak itu bertemu bapaknya.
“Bapak,
Bapak mau ke mana to!” teriak Salim, teman Seruni yang paling gendut tubuhnya.
Yang dipanggil berhenti seketika.
“Eh,
Salim, kamu segera pulang sana. Setelah itu jangan ke mana-mana. Di rumah sama
Ibumu saja. Ini di luar orang-orang pada ngamuk. Ada rombongan dari kota mau
menebang pohon beringin besar di ujung desa sana. Bapak ikut mereka. Sudah
ya... cepat pulang sana.”
“Hati-hati,
Pak.“ Jawab Salim. Segera ia menghambur kembali dan berlari sambil bercerita
kepada teman-temannya akan apa yang dikatakan Bapaknya.
Seruni
semakin takut. Ia ingat Bapaknya, pasti juga ikut berlari-lari bersama mereka.
Diamatinya setiap orang yang lewat sambil terus berlari. Dia tak menemukan Bapaknya.
Seruni sangat khawatir. Jangan-jangan telah terjadi apa-apa dengan Bapaknya. Ia
tak ingin sesuatu mengancam keselamatan bapaknya. Dilepasnya sepatunya, lalu
makin kencang ia berlari untuk sampai ke rumahnya.
Siang
begitu terik, matahari menyengat pori-pori kulit. Kemarau telah menggantikan
musim. Rumput gajah yang biasa menghijau segar di beberapa ladang pertanian
kini mulai menguning ujung daunnya. Sampai halaman sebuah gubuk kecil, Seruni makin
kehabisan nafas. Dusun Jeblok ini sangat lengang. Rupanya para warga telah
banyak yang meninggalkan rumah. Diketoknya pintu berdaun triplek agak usang
itu.
“Bapak...
Bapak... Bapak....!” teriak Seruni dari luar.
Pintu
dibuka. Rupanya Bapak Seruni masih di rumah, berpakaian rapi, baju hitam celana
hitam kolor, seperti biasanya jika Bapaknya harus mengantar ritual selamatan di
bawah pohon beringin. Dia segera meletakkan tas dan memegang lengan bapaknya
erat. Keduanya duduk di dipan bambu.
“Lho
kamu kok seperti kesetanan, keringatmu sak jagung-jagung, ki ngapa to Nduk?”
“Alhamdulillah,
Bapak masih di rumah. Di Luar sana orang-orang pada ngamuk. Katanya mau nyegat
rombongan dari kota yang mau nebang pohon beringin keramat itu, Bapak.”
“Oh
alah, Lha ya ini Bapak mau njemput mereka. Sudah minum sana. Gak usah khawatir,
semua sudah ada yang ngatur.”
“Lha
gak khawatir piye to Pak. Mereka banyak yang bawa golok, penthungan kok. Medeni
banget.”
“Kalau
gitu Bapak harus cepet-cepet nyusul ke sana.”
“Bapak,
jangan berangkat, aku khawatir, terjadi sesuatu dengan Bapak.” Isak Seruni
sambil memegang erat tangan kanan bapaknya yang telah menggenggam tongkat kayu
hansip sepanjang satu meter.
“Bapak
harus menghentikan mereka nduk. Kalau tidak, pasti terjadi pertumpahan darah.
Sebelum semuanya terlanjur,” ucap Pak Bono meyakinkan anaknya.
“Pokoknya
Bapak tidak usah berangkat, jika Bapak nekat berangkat, Seruni ikut.”
“Seruni,
ini bukan acaranya anak-anak, ngawur kamu.”
“Seruni
hanya punya Bapak, jika Bapak pergi, Seruni sama siapa? Pokoknya Seruni ikut..”
Anak
dan bapak bergelut seru di dalam gubuk. Pak Bono nekat keluar rumah melepaskan
genggaman tangan Seruni, lalu pintu gubuk dikuncinya dari luar. Seruni meraung
seperti kehilangan ibunya tempo dulu.
* * *
Rombongan
penebang kayu dari Dinas Perhutani hampir sampai. Mereka melewati jalan kecil
berbatu satu-satunya menuju kampung Wonomulyo. Raungan mobil yang membawa
rombongan itu sayup terdengar memenuhi sudut kampung dan semakin mendekat. Di
bak belakang mobil pick up sebuah mesin gergaji telah disiapkan. Tiba-tiba dari
balik semak belukar meloncat segerombolan warga kampung menghadang arak-arakan
mobil itu.
“Berhenti!“
Seorang lelaki bertubuh kekar tanpa baju mengacungkan kapak yang dibawanya.
Arak-arakan mobil berhenti seketika. Mereka berhamburan keluar mobil.
“Ada
apa ini! Kami utusan dari kabupaten. Mengapa kalian menghadang kami?” Tanya
seorang yang memakai seragam, sepertinya pejabat. Beberapa polisi pengawal
bersiaga mengamankannya.
“Kalian
tidak boleh mengambil kebahagiaan kami. Pohon beringin itu sumber air bagi
kami. Banyak berkah dan harapan kami ada pada pohon itu. Banyak orang
menggantungkan nasibnya pada pohon ini.” Lelaki bertubuh kekar itu tetap
berteriak menghadang.
“Ya,
pohon itu ada sebelum kami dan kalian semua lahir. Kami tidak rela pohon leluhur
kami dimusnahkan,“ teriak seorang warga sambil mengacungkan goloknya.
“Enyah
kalian. Kalau tidak, kami akan memaksa kalian untuk pergi dari sini.” Teriakan
para warga telah sampai pada puncaknya. Beberapa polisi meletupkan senjata
apinya ke atas.
Gerombolan
warga mundur selangkah.
“Sudahlah,
kalian tak usah menghalangi kami. Bapak polisi ini akan memaksa kalian minggir
jika kalian masih ngotot.” Kata Sang pejabat tadi pongah.
“Kami
tak peduli. Nyawa kami taruhannya...” ujar mereka berteriak saling bersahutan.
Polisi pengawal maju selangkah sambil mengarahkan senjata api tepat di muka
warga kampung paling depan.
Pak
Bono mempercepat langkahnya hingga sandal jepitnya putus di tengah jalan.
Badannya yang kurus menambah gesitnya langkah. Sampailah dia di jalan perbatasan
sebelah barat menuju gerbang masuk perkampungan Wonomulyo.
Suasana
tegang, adu mulut tak terelakkan lagi. Dengan mengacungkan tongkat hansipnya,
dia berteriak serak. Suaranya besar menggelegar, berusaha melerai kericuhan
itu.
“Tunggu,
tahan.” Semua mata menoleh ke arah Pak Bono. Semua warga menurunkan acungan
tangannya dengan genggaman senjata masing-masing.
“Dengarkan
saya, kalian masih menganggap saya sebagai sesepuh penjaga pohon beringin tua
itu, kan? Mari kita dengar dulu mengapa Bapak-bapak ini memilih menebang pohon
itu? Jangan main hakim sendiri to! Maafkan kelancangan mereka Bapak-bapak. Saya
utusan dari Bapak Lurah sebagai penunjuk jalan sekaligus menyambut kedatangan
Bapak-bapak.”
“Kami
dengar di desa kalian sering terjadi angin puting beliung. Kami telah mendatangkan
ahli untuk melihat pohon ini. Keadaannya sangat tua. Membahayakan jika tidak
ditebang. Kebetulan, Bapak Bupati menginginkan arang untuk membakar kembali
pusaka kabupaten pada acara jamasan dan kirab senjata bulan Sura mendatang.
Jadi bukan untuk sekedar ditebang saja. Pohon ini kan menjadi arang jamasan
pusaka dan pembakar bolu massal di alun-alun, sehari sebelum kirab.” Pejabat
tadi menjelaskan dengan diplomatis.
Semua
warga sangat hormat dengan Pak Bono. Dialah yang dipercaya warga menjadi juru
kunci pohon tua yang dikeramatkan itu. Kadang banyak warga dari lain kampung
memuja pohon dan memberi sesaji beraneka rupa. Mereka memanjatkan doa memohon
apapun keinginan dalam hidup mereka. Pak Bono lah yang selalu dicari untuk
memohon ijin mengadakan ritual di bawah pohon itu. Warga sangat menghormatinya.
Entah
karena Pak Bono juga orang kepercayaan Pak Lurah, dia tak bisa menolak perintah
atasannya. Dia membolehkan pohon itu tetap ditebang demi kelanggengan pusaka
kabupaten. Entah ini karena terpaksa atau memikirkan bahwa di atas akar yang
menjuntai ke dalam belik, pohon itu mulai keropos ke dalam. Bahaya memang jika
roboh diterpa angin. Sedang besarnya tiga dekapan tangan orang dewasa. ..
“Coba
Pak Bono, satu-satunya pohon yang masih bisa buat kami berteduh, mencari air,
beristirahat dengan rindang, ya hanya pohon itu. Jika ditebang, apa belik itu
masih bisa tetap ada airnya tiap tahun. Lalu, jika kering ke mana kita mau
mencari sumber air. Jangan hanya memikirkan kebutuhan yang hanya sekali setahun.
Kami harus memiliki sumber air setiap saat, wahai Bapak-bapak Pejabat.”
Lelaki
bertubuh kekar itu akhirnya menjadi pimpinan warga, berkata lebih tegas.
“Betul-betul!”
mereka berteriak hampir serempak.
“Begitulah
keberatan mereka Bapak-bapak. Mungkinkah tak ada jalan lain, selain menebang
pohon itu?” kata Pak Bono.
“Ya,
kami mengerti, tetapi kami dengar pohon ini sering digunakan ritual meminta
sesuatu oleh warga masyarakat. Bukankah ini tidak baik bila dikaitkan dengan
ajaran agama.” Kata Sang Pejabat tadi.
“Ya
itu bukan salah kami. Mereka justru datang dari luar perkampungan kami, Pak.
Dan saya selalu mengingatkan pada mereka untuk berdoa hanya kepada Gusti Allah
ketika mereka melakukan ritual.” Jawab Pak Bono.
“Mengapa
Bapak tidak melarang mereka saja.” Yang bertopi Koboi ikut memberi pertanyaan.
“Bapak
tidak tahu bagaimana sulitnya kami makan enak. Itu bagian rejeki yang dikirim
Gusti Allah kepada kami.” Seluruh warga membenarkan jawaban Pak Bono.
“Begini
saja, kita tetap pergi ke ujung desa saja. Di sana ada Pak Lurah dan aparat desa
yang lain. Kita dengar apa kata Pak Lurah tentang masalah ini. Bagaimana?” kata
Sang Pejabat.
Pak
Bono seperti berembug dengan warga. Lalu mereka menyetujui keinginan Sang
Pejabat. Mereka melanjutkan perjalanan menuju ke ujung desa.
*
* *
Seruni
berusaha memutar otak bagaimana cara dia keluar dari rumah. Diseretnya meja
kayu dengan sekuat tenaga ke bawah jendela rumahnya. Maklum jendelanya terlalu
tinggi untuk dijangkau anak seusia dia. Dia memaksa naik ke atas meja kira-kira
satu meter tingginya, membuka kancing jendela dan melompat ke luar. Seruni ingin
mencari sahabat-sahabatnya. Dia sangat tidak ingin pohon itu ditebang. Jika benar
ditebang, hilang mata pencaharian bapaknya sebagai penjaga pohon dalam ritual
yang sering dilakukan masyarakat di tempat itu. Jika Bapak tak lagi dimintai tolong
mengantarkan mereka, pasti aku tak bisa merasakan enaknya makan ayam panggang,
pikir Seruni. Apalagi jika dia harus menunggu bapaknya membakar
arang
di tempat Pak Gampang, sangat membosankan, lama sekali. Seruni biasa menghabiskan
waktu untuk bermain di belik bawah pohon beringin itu. Tempatnya sangat teduh,
sejuk dan nyaman. Sambil membawa buku untuk belajar, teman-temannya menjadikan
tempat itu sebagai tempat bermain paling menyenangkan. Sering mereka ditemani
oleh cericit suara burung yang bersarang di pohon beringin itu. Belum lagi jika
ada yang melakukan ritual. Makanannya selalu mereka habiskan dengan sangat
riang tanpa rasa takut sedikit pun. Tak ada yang melarang mereka.
Sampailah
dia di rumah Lintar. Seruni berusaha kuat untuk tidak mencurigakan Ibu Lintar.
Ada rencana besar ingin dia katakan kepada teman-temannya.
“Eh
Seruni, ada apa nak. Bukannya kamu di suruh jaga rumah sama Bapakmu. Iya kan?”
tanya ibu Lintar. Seruni mengangguk
“Tapi
PR kami banyak sekali Bu. Kami mau mengerjakan bersama-sama seperti biasanya di
rumah Fairus. Boleh ya Bu.” Pinta Seruni meyakinkan.
“Tapi
jangan bermain seperti biasanya ya. Jangan ke bawah pohon beringin keramat
itu.” Ibu Lintar melarang dengan sungguh-sungguh.
Keduanya
berangkat ke rumah Fairus dengan berlari. Sampai di sana, Berlian dan Salim
sudah menunggu mereka. Lalu mereka mencari tempat di mana ibu Fairus tak
mendengar pembicaraan mereka.
“Kalian
paham nggak, kita harus ikut memberontak seperti Bapak-bapak kita. Jika mereka
masih ngotot, kita menangis sekuat tenaga. Biar wajah kita tak dikenali satu
per satu, kita coreng saja pakai arang, bagaimana.” Kata Seruni menjelaskan rencananya.
“Aku
takut, nanti dimarahi bapak sama ibuku”, jawab Berlian agak ragu
“Alah
kamu, Lian. Cengeng. Kita berlima, nggak hanya kamu yang dimarahi. Kita hadapi
bersama-sama”, kata Salim tegas.
“Iya,
iya ayo cepat kalau begitu, kita berangkat, mampir ke tempat pembakaran arengnya
Pak Leman. Kita coreti muka kita.”
“Keburu
ditebang pohon beringinnya. Ayo cepat.” Seruni berlari memimpin di depan
diikuti teman-temannya. Mereka mencari jalan pintas agar segera sampai di tungku
pembakaran arang pak Leman. Lalu masing-masing memoleskan jelaga ke muka sesama
teman, diambil dari pinggir tungku. Setelah semuanya tertutup hitam, tertawalah
mereka serempak.
“Husy,
jangan keras-keras. Ayo kita mulai petualangan kita, ya.”kata Seruni.
Mereka
mengendap-endap di balik semak belukar pohon ara yang menggersang daunnya.
Tanah hutan penuh dengan daun dan bunga kering pohon ara. Sampai di lokasi
penebangan, mereka masih bersembunyi di tanah yang melandai sebelah selatan
pohon besar itu. Nampak para penebang telah menurunkan alat-alat buat menebang
kayu. Sepertinya benar-benar pohon itu hendak ditebang hari ini juga.
“Sebentar,
sebelum semuanya terlanjur, Pak Lurah, mohon dipikirkan lagi. Keputusan Bapak
sudah bulatkah?” tanya Pak Bono mengharapkan seperti hendak mempengaruhi agar
Pak Lurah mengurungkan niatnya memberi ijin untuk menebang pohon ini.
“Ya,
bagaimana lagi Pak Bono. Kehendak pemerintah begitu. Kan nanti akan dibangun
tempat tandon air dari PDAM. Saya yakin semuanya akan baik-baik saja.”
“Bapak
berani menjamin, air PDAM itu selalu bisa mengalir? Karena tempat kami daerah
pegunungan. Sulit sekali air PDAM di musim kemarau bisa sampai di perkampungan
kita. Apa bapak juga belum merasakan selama Bapak tinggal di desa kami dua
tahun terakhir ini?” tanya salah seorang warga.
“Iya
betul, Pak. Kami sering tak bisa mandi jika hanya mengandalkan PDAM.” Tiba-tiba Seruni dan empat temannya menghambur
menuju lokasi. Mereka tak sabar mendengar pembicaran yang makin menegang.
Sambil berteriak lantang mereka mengagetkan para warga dan rombongan dari
kabupaten. Beberapa yang melihat tertawa terbahak–bahak melihat wajah mereka
hitam tertutup jelaga arang.
“Kami
tidak mau pohon ini ditebang. Tolong Pak, jangan ditebang.” Seruni, Lintar dan
Salim berteriak.
“Iya
Pak, ini tempat kami satu-satunya buat bermain. Tak ada tempat serindang di
sini Pak. Kami biasa berlima belajar dan memakainya buat beristirahat dan mandi
setelah membantu Bapak memasukkan arang ke keranjang.” Salim menambahkan dengan
lantang.
“Betul,
pekerjaan mereka dekat dengan panas dan api, pohon inilah yang sering membuat
kami benar-benar bisa menghilangkan lelah, Pak. Apalagi air telaga ini juga
biasa kami minum begitu saja jika kami haus. Kami tak pernah sakit karenanya. Malah
segar dan sehat.” Kata Fairus menjelaskan.
“Tidak
hanya itu saja. Lihatlah di atas itu banyak sarang burung bertengger. Tupai-tupai
berloncatan. Bapak-bapak ini tak kasihan melihat rumah mereka rusak. Kasihan
mereka Pak.” Kata Seruni menghiba.
“Di
sini juga kami biasa berkumpul bermain topeng arang tiap purnama tiba. Mereka
sahabat-sahabat kami semua. Kasihan jika mereka tak bisa lagi melihat kami
menari dan berjoget, jangan tebang Bapak. Saya mohon.” Isak tangis Seruni menjadi,
membuat wajahnya menjadi agak kelihatan karena arang di wajahnya terhapus air
matanya.
“Seruni,
kamu ...!” pak Bono berlari memeluk Seruni.
Semua
dibuat tercengang oleh ulah kelima bocah itu. Seluruh rombongan dari kabupaten
menggeleng-gelengkan kepala. Dari kejauhan sebuah mobil Grand Livina berwarna
silver datang. Lalu si empunya keluar dari dalam mobil.
“Anak-anak
itu benar Pak, jangan ambil dunia mereka. Jika Bapak ingin arang untuk acara
jamasan dan pembakaran bolu nanti, saya siap mengirimkan seberapa besar
kebutuhan Bapak-bapak untuk acara itu. Lagi pula pohon beringin bukan jenis pohon
yang bagus dibuat arang.“
“Bagaimana
dengan keselamatan mereka, jika pohon ini tumbang?” tanya pejabat itu.
“Kami
sudah memikirkannya, bapak-bapak tidak usah khawatir”.
Kedatangan
Pak Gampang, juragan terkaya yang terkenal sangat dermawan itu menggembirakan
para warga. Akhirnya semua masalah selesai sudah. Semua saling memohon maaf dan
memanjatkan doa bersama di bawah pohon beringin tua, bagi kesejahteraan dan
keselamatan warga desa Wonomulya. Pesta kecil-kecilan digelar di sana. Kelima
anak bertopeng arang itu ikut merasakan nikmatnya ayam panggang dan menu
makanan yang disuguhkan dalam perjamuan itu. Dasar anak-anak yang nakal dan
cerdas....
*
* *
Tanah
lapang dipenuhi warga yang bergotong royong mempersiapkan pembakaran arang.
Terlihat tumpukan batu setinggi satu meter dan gundukan kayu memanjang
sepanjang duapuluh meter berjajar di tiga tempat pembakaran arang milik pak Leman.
Jika didekati gundukan itu seperti gundukan pasir, mengepulkan asap dan terasa
panas. Berkubik-kubik kayu bakar di tata di dalamnya. Untuk membakarnya
diperlukan batok kelapa, ban bekas dan rumput gajah diletakkan paling atas
gundukan. Baru disulutlah kayu bakar tersebut. Setelah semuanya terbakar serbuk
paling atas nampak memutih seperti gundukan pasir. Gotong royong warga
Wonomulya dilakukan hanya untuk menebus telah berkenannya pemerintah Kabupaten
tak menebang pohon beringin tua milik mereka satu-satunya. Kebahagiaan
terpancar pada wajah-wajah mereka yang dipenuhi senyum. Mengembang.... tanpa
beban.
Seruni
dan temannya masih asyik dengan joget topengnya di sela riuh para warga. Renyah
tertawa... Sebenarnya merekalah topeng kejujuran sejati. Tak ada sekat pada
wajahnya, menyatu mereka pada hitam arang denyut nadi kehidupan mereka.
Bercahaya dalam senyum. [*]
sumber cerpen: Buku Elektronik Antologi Cerpen LMC-SMP/MTs 2012
sumber cerpen: Buku Elektronik Antologi Cerpen LMC-SMP/MTs 2012
cerpennya bisa dipelajari buat bikin yg semacam ini. thanka mas Koko
BalasHapus