Ada satu pertanyaan sederhana, namun tidak semua pasangan menikah dapat menjawabnya. Pertanyaan itu adalah, “mengapa ingin memiliki anak?” Bagi pasangan yang bertahun-tahun menikah namun belum juga dikaruniai anak, pertanyaan itu akan dijawab dengan lancar. Mereka sudah melewati ribuan hari tanpa tangis bayi, tiada canda tawa dengan anak-anak. Mereka menemukan banyak sekali alasan sehingga ingin sekali memiliki anak. Untuk pasangan yang sangat mudah dititipi anak oleh-Nya, pertanyaan mengapa ingin memiliki anak, bisa jadi terbersit pun tidak. Anak seolah hadir begitu saja. Baru saja menikah, beberapa bulan kemudian istri hamil. Setahun kemudian pasangan suami istri telah menjadi orang tua. Beberapa tahun kemudian, anak kedua, ketiga dan seterusnya lahir. Jawaban-jawaban berikut ini mungkin menjadi jawaban sekian orang tua saat mendapat pertanyaan tersebut: Saya ingin menciptakan kembali masa kecil yang indah Ngg…Semacam investasi untuk hari nanti Sebab saya percaya, kita akan m
Cerpen Juara 2 LMCA 2014 ini merupakan karya Meiza Maulida Munawaroh. Kisahnya cukup mengharukan dan punya makna yang begitu mendalam. Dandelion menjadi perlambang harapan dan kasih sayang seorang ibu. Silakan dibaca, semoga terhibur dan menginspirasi
Sekuntum Dandelion
Oleh: Meiza
Maulida Munawaroh
“Bun, lihat sini deh!”
pintaku. Bunda menghampiriku yang mematung di teras rumah. Ia datang dengan
wajah penasaran.
“Ada
apa, Nayya?!”
“Itu
bunga apaan, sih?” tunjukku kepada serumpun rumput-rumputan
dengan tangkai panjang dan bandul putih lembut seperti kapas. Hmm,
banyak serbuk sarinya, lagi!
Bunda
tersenyum seketika, “Kamu itu, sudah kelas enam, masa tidak tahu itu bunga
apa?” ledeknya, “Bunda akan tunjukkan sesuatu. Tapi kapan-kapan ya?”
“Huh,”
dengusku dalam hati. “Aku lebih suka main game watch dan menulis resensi
daripada menjadi flowerholic seperti Bunda!”
Bunda
tertawa geli, kemudian masuk ke dalam rumah. Meninggalkanku yang kembali
mematung dengan perasaan lain.
Kutatap
rumpun bunga unik itu dari kejauhan, dengan pandangan datar. Lama-lama, aku
merasa sedikit risih karena bunga-bunga aneh itu. Bunga itu seolah virus bagi
taman rumah dan koleksi bunga milik Bunda lainnya.
Setiap
hari, sepulang sekolah, aku selalu melirik bunga liar yang sekarang tumbuh
bertebaran di setiap sudut taman. Aku tidak habis pikir, bagaimana cara mereka
bisa menyebar sedemikian cepat? Yah, kuakui aku memang tidak tahu, dan tidak
mau tahu. Beragam kegiatan ekstrakurikuler yang padat, serta PR yang tidak
kira-kira, membuatku tak sempat memikirkan hal lain. Lebih-lebih memikirkan
soal bunga yang tidak begitu aku sukai.
Tapi
bunga itu, lama-lama jadi menyebalkan. Aku menimang-nimang kapan akan
kuproklamasikan, “aku benci bunga-bunga itu!”. Tetapi tunggu, katanya Bunda
ingin menunjukkan sesuatu.
Sore
ini, Bunda benar-benar memberiku kejutan. Sebuah benda dibungkus kertas kado
yang lucu disodorkannya. Bentuknya persegi panjang, cukup berat dan tebal.
Bunda juga memintaku membuat resensi dari hadiah yang ia berikan itu. Aku sibuk
menebak-nebak isi benda dibalik balutan kertas kado nan rapi ini. Novel? Tidak
mungkin setebal dan seberat ini, kecuali Harry Potter. Album foto? Lucu sekali
jika Bunda memintaku untuk menjadikannya resensi!
“Buka
di dalam saja, Nayya! Di luar, anginnya kencang sekali. Ayo, masuk!” ajak Bunda
mengomando.
Aku
merobek kertas kado itu tanpa ampun, dan menelantarkannya di lantai kamarku.
Mataku berbinar-binar ketika mengetahui hadiah yang diberikan Bunda tanpa
keterangan dalam rangka apapun. Sebuah ensiklopedia!
Sayangnya,
membaca judulnya sudah membuatku lemas kembali. Ensiklopedia ini memuat tentang
bunga! Ya ampun, aku kan, bukan flowerholic seperti Bunda!
“Ehm,
nggak apa-apalah. Yang penting, hanya menulis resensinya saja dan
ensiklopedia ini siap untuk berdebu di perpustakaan pribadiku!” ucapku sambil
memandang ensiklopedia ini lekat-lekat. Cover-nya memuat ilustrasi keren,
agak berkerlap-kerlip karena mungkin sengaja diberi tambahan glitter.
Aku
membukanya perlahan. Halaman pertama, hanya ada kata pengantar. Kulirik daftar
isi. Ternyata, di dalamnya terdapat bermacam-macam artikel. Bunga mawar, melati,
flamboyan, aster, anggrek … Lihatlah, ada sebuah artikel yang sesungguhnya
‘menarik’. Tetapi, aku terlalu malas untuk memerdulikannya.
Setiap
hari Jumat, Sabtu, dan Minggu, kugunakan waktu luangku untuk menyusun resensi
dari ensiklopedia tebal ini. Aku butuh berlembar-lembar kertas folio untuk
menuliskannya. Suatu saat, akan kutunjukkan kepada Bunda dan menceritakannya
seolah semua ini novel fiksi belaka.
Tetapi,
aku jadi sebal kepada Bunda karena dia tambah rajin merawat bunga-bunga liar
itu. Bunga yang terkadang warna serbuknya berubah-ubah. Warnanya sedikit
kekuningan jika diterpa cahaya senja. Setiap sore, Bunda selalu menghampiri
bunga-bunga itu, meniupnya hingga serbuk sarinya beterbangan, dan hinggap di
tanah.
Sampai
akhirnya aku kupikir, sekarang Bunda jadi pecinta bunga aneh yang menyebalkan
itu. Bunga berserbuk sari yang mengganggu, berserakan di taman rumahku.…
* * *
“Nayya!
Nayya!” terdengar teriakan penjual kelontong dekat rumah yang bagiku begitu
familiar. Suara itu menyambutku ketika hendak membuka pagar, setelah letih
menjalani Kamis yang padat di sekolah.
“Bu
Maryam?!” sahutku, “ada apa?”
“Bundamu
menitipkan kunci rumah kepada ibu. Nih, kuncinya. Jadi, kalau Nayya mau masuk
rumah, nggak perlu menunggu Bunda dulu,” Bu Maryam menyerahkan kunci
rumah.
Aku
kebingungan, “Memangnya Bunda kemana?”
“Nayya
tidak tahu?” tanya Bu Maryam. Aku menggeleng.
* * *
Krieeet!
Aku
membuka pintu geser kamar nomor 275. Bau obat dan nuansa penyakit menyeruak di
mana-mana. Buru-buru, kuhampiri Bunda yang terbaring lemah di sebuah ranjang
putih.
Bundamu
tadi siang pingsan saat sedang berkebun! Ia dilarikan ke rumah sakit. Ayahmu
ditelepon dan memutuskan pulang, mungkin sekarang sudah di rumah sakit.
Aku
nyaris tidak percaya dengan apa yang Bu Maryam katakan tadi. Karena tidak tega,
Bu Maryam mengantarkanku ke rumah sakit, untuk melihat keadaan Bunda. Ayah yang
seharusnya masih bekerja di Lampung, berdiri di samping Bunda.
“Bunda,”
ucapku pelan. Bunda terlihat lelah sekali, beliau hanya menoleh dari ranjangnya
sambil tersenyum sangat tipis. Aku heran kenapa Bunda bisa pingsan. Aku juga
tidak tahu kenapa Bunda berkebun di siang hari. Memang, sih, Bunda suka
sekali merawat dan berkhayal bersama bunga-bunga koleksinya yang benar-benar keren.
Tetapi, tidak biasanya Bunda ‘ngobrol’ dengan puluhan bunganya di siang hari.
Bunda lebih suka berkebun di sore hari, karena tidak terlalu panas.
Aku
berdiri di samping Ayah, menatapnya. Tetapi, Ayah yang kuharapkan memberi
penjelasan, malah bungkam dan memberiku tatapan datar.
“Nayya,
Sayang,” panggil Bunda lembut, “resensinya sudah jadi?” Aku mengangguk
semangat, kuberikan resensi ensiklopedia di dua lembar kertas folio yang
sengaja kubawa untuk kupamerkan kepada Bunda. Yah, siapa tahu, itu membuatnya
bahagia.
“Bunda
kenapa? Bunda sakit apa?”
Bukannya
menjawab, wanita itu malah memperlihatkan senyum malaikatnya, “Sayang, boleh
tidak, Bunda minta sesuatu?”
“Bunda
ingin … ingin Nayya menyayangi bunga-bunga liar di taman rumah kita itu. Dan
satu lagi, maukah Nayya membawakan sekuntum dandelion untuk Bunda?” pintanya
dengan suara lembutnya yang sangat kusayangi.
“Kamu
bisa baca di ensiklopedia, buka halaman 245. Ayah yakin, kamu belum membaca
artikel itu!” Ayah ikut nimbrung. Aku terdiam kaku. Ada apa di halaman
245?
* * *
Kubuka
ensiklopedia halaman 245 dengan hati-hati, sesuai saran Ayah. Aku memang sudah
di rumah karena harus tetap masuk sekolah. Sementara, Bunda masih di rumah
sakit karena belum pulih. Penyakitnya bahkan belum kuketahui. Hanya saja, Ayah
datang setiap hari untuk menengokku di rumah.
Sebenarnya,
sih, aku sudah biasa di rumah sendirian. Tetapi mengingat sikapku yang
begitu teledor dan kadangkala bikin panik orang, Bunda meminta tolong Bi
Arkha untuk menjagaku.
“Nayya,
sedang apa?” tanya Bi Arkha yang datang membawa mi goreng kesukaanku.
“Membaca
buku. Terima kasih ya, Bi! Aku makan di kamar saja,” aku mengambil alih piring
yang dibawa Bi Arkha dan menutup pintu setelah beliau berlalu.
Sambil
makan, kusapu setiap kalimat di halaman 245 itu: dandelion. Gambarnya
benar-benar mirip dengan bunga pengganggu di halaman rumahku. Tetapi, aku tidak
tahu kenapa, keingintahuanku seolah membuatku berhenti membenci bunga itu
barang sebentar.
“Ternyata...,
dandelion adalah bunga liar. Dimanapun angin yang membawa benihnya berhenti,
disitulah dandelion baru akan tumbuh. Dandelion memang terlihat tidak menarik,
dan terkesan ‘rapuh’. Namun, dandelion ini justru mengajarkan banyak arti hidup
kepada manusia,” kutipku. Aku terdiam. Sebelas detik kemudian, dapat
kutafsirkan kalau aku salah karena membenci bunga aneh bernama dandelion itu.
Aku juga baru ingat kalau Bunda memintaku untuk membawakan sekuntum dandelion
untuknya. Tetapi..., dalam rangka apa?
Handphone
milikku berdering, menandakan sebuah
telepon masuk. Nomor Ayah tertera di dalamnya.
“Assalamualaikum.
Ayah?”
“Waalaikumsalam,
Nayya. Nak, kamu ke rumah sakit sekarang, ya! Bunda kritis, dia harus
dimasukkan ke ruang ICCU. Maaf Sayang, Ayah selama ini menyimpan rahasia dan
baru memberitahumu sekarang. Bahwa Bundamu, sebetulnya sudah lama mengidap
liver. Dan kini liver Bundamu semakin parah. Segera berangkat ke rumah sakit
sekarang, Nak!”
Aku
berlari keluar rumah dengan kebingungan dan air mata yang tidak bisa kubendung
lagi. Kenapa aku bisa tidak tahu kalau malaikat berhati mulia itu terserang
penyakit pada hatinya sendiri? Salah apakah Bunda? Padahal, dirinya begitu baik
dan sabar.
Aku
bimbang. Tak mungkin untuk pergi ke Valley of Flowers di sisi barat
Himalaya untuk memetik dandelion, seperti digambarkan dalam ensiklopedia, untuk
mempersembahkannya pada Bunda. Tangisku tambah kencang. Dimana aku harus
menemukannya?
Tiba-tiba,
perhatianku tertuju pada bunga liar di halaman rumah yang tinggal sedikit.
Bukankah itu dandelion yang sama, seperti digambarkan dalam ensiklopedia? Ya,
bunga-bunga liar itu tinggal sedikit karena hari-hari sebelumnya sengaja
kuinjak-injak. Tidak hanya itu, juga kusapu benih-benihnya yang masih tersisa,
dan kubuang tanpa dosa. Air mataku berderai, kupetiki dandelion-dandelion
tersisa itu dengan hati terluka. Aku berlari menemui Bunda di rumah sakit,
berharap aku belum terlambat.
Aku
menangis seperti anak kecil yang putus asa karena jatuh dari sepedanya, sambil
memeluk Bunda. Pelan-pelan, kuserahkan sekuntum dandelion yang sengaja kuikat
dengan pita di tangkainya. Bunda tersenyum. Aku tidak habis pikir mengapa Bunda
malah memintaku membuka jendela, dan meniup serbuk dandelion ini. Membiarkan
biji-biji lembutnya terbang bersama angin, untuk mendarat di sebuah tempat dan
berkembang biak.
“Mereka
akan tumbuh dimanapun engkau meniupnya,” kata Bunda dengan suara lemah.
Aku
membuka jendela di dekat ruang ICCU yang menghadap langsung ke luar sana.
Kutiup pelan serbuk sari dandelion ini dengan air mata berderai yang tak
kunjung berhenti. Angin kencang membawanya, serbuknya terbang mencari tempat
baru yang telah ditakdirkan Sang Kuasa. Mereka akan tumbuh menjadi
rumpun-rumpun manis yang bahagia.
Dan
aku cukup puas telah mampu membuat Bunda bahagia, sebelum dia meninggalkan
dunia beserta isinya.
Bunda,
dirimu memang seperti dandelion yang suci. Begitu berjasa dan mententramkan
hati. Begitu mempesona dan memberi banyak pelajaran. Bundaku pergi, melekat kan
sebuah kenangan. Kenangan yang tidak bisa kulupakan.
Memang
benar. Dandelion hanyalah bunga liar yang secara fisik tak menarik. Lemah dan
rapuh. Serbuknya terbang diterpa angin kencang, dibawa ke sebuah tempat
pilihan, dan tumbuh dengan hati lapang. Dandelion jarang dianggap, tetapi
memberi untaian cinta dan pelajaran. Seperti Bunda. Seperti
Komentar
Posting Komentar