Langsung ke konten utama

Entri yang Diunggulkan

Mengingat Kembali Jawaban Pertanyaan Mengapa Ingin Memiliki Anak

Ada satu pertanyaan sederhana, namun tidak semua pasangan menikah dapat menjawabnya. Pertanyaan itu adalah, “mengapa ingin memiliki anak?” Bagi pasangan yang bertahun-tahun menikah namun belum juga dikaruniai anak, pertanyaan itu akan dijawab dengan lancar. Mereka sudah melewati ribuan hari tanpa tangis bayi, tiada canda tawa dengan anak-anak. Mereka menemukan banyak sekali alasan sehingga ingin sekali memiliki anak. Untuk pasangan yang sangat mudah dititipi anak oleh-Nya, pertanyaan mengapa ingin memiliki anak, bisa jadi terbersit pun tidak. Anak seolah hadir begitu saja. Baru saja menikah, beberapa bulan kemudian istri hamil. Setahun kemudian pasangan suami istri telah menjadi orang tua. Beberapa tahun kemudian, anak kedua, ketiga dan seterusnya lahir. Jawaban-jawaban berikut ini mungkin menjadi jawaban sekian orang tua saat mendapat pertanyaan tersebut: Saya ingin menciptakan kembali masa kecil yang indah Ngg…Semacam investasi untuk hari nanti Sebab saya percaya, kita akan m

Menulis Cepat, Uang Dapat; 9 Ciri Penulis Instan


Salah satu proses kreatif penulis sastra adalah menjadi penulis instan. Sadar atau tidak terkadang seseorang menulis sastra untuk tujuan jangka pendek, demi honor berjumlah besar misalnya. Apakah kita penulis sastra instan itu? Berikut ini saya uraikan beberapa ciri penulis instan berdasarkan wawancara Kompas dengan Budi Darma.


Ciri-ciri Penulis Instan

1. Menulis Tanpa Perenungan

Budi Darma mengambil contoh status-status di facebook sebagai contoh tulisan tanpa perenungan. Apa yang dirasakan penulis terhadap satu kejadian segera dituliskan. Ia menulis tanpa merenungkan bahkan melakukan cek dan ricek informasi kejadian itu. Tidak jarang statusnya itu mendapat bantahan karena tulisan status itu mengedapankan muatan emosi penulis daripada informasi berimbang dan terpercaya. 

Sementara itu, sebagian penulis seperti Budi Darma, merasa perlu untuk mengendapkan tulisan terlebih dahulu. Penulis menyimpan tulisannya selama beberapa waktu sambil terus mencari informasi tambahan, dan terus memikirkan tulisannya. Sebagian penulis juga meminta pendapat orang lain dalam lingkup terbatas. Orang lain itu diharapkan bisa memberikan komentar yang tidak memihak penulis. Setelah melakukan berbagai revisi, barulah tulisan itu dikirimkan atau disiarkan untuk orang banyak.
  

2. Tanpa Kontrol Orang Lain 

Sepertinya Budi Darma mencermati beberapa karya sastra yang dibuat sendiri tanpa melibatkan orang lain sedikitpun. Seseorang menulis novel, menyunting sendiri, mengatur tata letak dalam format buku, merancang sampul, menambahkan gambar ilustrasi yang disukai, kemudian mencetak sendiri dan memasarkannya. Benar atau salah dalam setiap tahapan tersebut adalah diri sendiri. Teknologi percetakan saat ini mendukung siapa saja untuk menangani sendiri pembuatan bukunya dalam hitungan hari. Dijah Yellow, mungkin bisa menjadi contoh penulis tipe ini. 

Penulis bisa saja puas melihat dan membaca hasil karyanya yang cepat itu. Pada saat novel dibaca oleh orang lain, pendapat yang berbeda akan muncul. Semakin banyak orang yang membaca, semakin banyak pula penilaian terhadap buku itu. Hilangnya kontrol orang lain dalam proses berkarya, menjadikan karya itu cocok untuk dinikmati diri sendiri, namun belum tentu tepat untuk konsumsi orang lain.  

3. Kejar Tayang

Tulisan untuk tujuan siar, muat, atau cetak dalam waktu tertentu, mengharuskan penulis menyelesaikan tulisan dalam rentang waktu terbatas. Misalnya untuk memenuhi tren selera khalayak terhadap budaya K-Pop saat ini, sejumlah penerbit meminta penulis membuat naskah dengan latar budaya Korea. Tren yang berjangka waktu singkat mengharuskan penulis segera menyelesaikan naskahnya. Terkadang, penulis menggunakan segala cara agar naskahnya segera selesai. Semangat untuk lekas rampung inilah yang seringkali menghilangkan proses menulis dengan rujukan yang dapat dipercaya dan proses penyuntingan naskah yang ketat. Akibatnya, kualitas naskah layak baca tapi belum matang benar. 

4. Mudah Hilang

Tren dapat berganti dalam hitungan bulan saja. Saat tren berganti, produk yang dibuat untuk memenuhi selere khalayak terhadap tren tertentu akan ditinggalkan pula. Contohnya saja saat Justin Bieber menggelar konser 2011 lalu, beberapa penerbit mengeluarkan buku biografi, novel grafis dan berbagai produk cetak yang berkaitan dengan Justin Bieber. Penggemar Justin memborong produk-produk itu menjelang konser dan beberapa minggu setelah konser. Seiring bergantinya hari dan beralihnya tren, produk yang berkaitan dengan Justin Bieber seperti makanan yang sudah basi. Beberapa penerbit melakukan obral sehingga hilanglah produk cetak Justin Bieber. 

Karya penulis yang mengejar tren sesaat itu mudah hilang. Namun sebagai penganttinya, sebagian penulis mendapat honor yang cukup untuk pengerjaan produk kejar tren itu. Hal ini mungkin cukup menghibur penulis itu, meskipun karya mereka seperti kembang api; meletup sesaat, lalu menghilang.
  

5. Konflik Psikologi Kurang Kuat

Psikologi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia. Menurut ilmu psikologi, motivasi dan penyebab seseorang melakukan suatu tindakan tertentu sangat kompleks. Berbagai teori dan aliran psikologi saling melengkapi untuk menjelaskan kompleksnya perilaku manusia itu. Beberapa penulis cerita fiksi mengabaikan konflik psikologi tokohnya yang sangat kompleks itu. Mungkin inilah yang dimaksud oleh Budi Darma sebagai konfilk psikologi kurang kuat. Seorang lelaki yang jatuh cinta dan rela melakukan apa saja untuk perempuan yang baru ditemuinya hanya karena perempuan itu cantik terlalu meremehkan masalah. Padahal banyak hal yang seharusnya mendasari kenapa si lelaki jatuh cinta dan tergila-gila.  


6. Latar Luar Negeri Karena Ketakutan

Di toko buku, kita mudah menemukan novel-novel bersampul latar suatu negara di luar Indonesia. Apakah ini satu tren? Bisa jadi. Pergi berkelana ke luar negeri adalah impian sebagian besar orang. Mimpi itulah yang ditangkap penerbit dengan menghadirkannya dalam kisah fiksi, meskipun si penulis juga belum pernah menginjakkan kakinya di negara yang dituliskannya. 


Budi Darma menilai penulis instan menyematkan label luar negeri sebagai fenomena ketakutan ditinggalkan, bukan ingin menjadi bagian dari dunia global. Bisa jadi maksud ditinggalkan adalah ketinggalan tren. Budi Darma menuliskan semua novel dan sebagian karya cerpennya saat berada di luar negeri. Olenka ditulis semasa ia kuliah di Amerika, sedangkan Rafilus ditulis ketika ia menjadi peneliti di Inggris. Sepertinya perenungan dan benturan budaya saat berada di luar negeri itulah salah satu pemicu proses kreatifnya.

7. Tanpa Sadar Feodal

Menurut KBBI, feodal berhubungan dengan susunan masyarakat yang dikuasai oleh kaum bangsawan. Masyarakat feodal dapat diartikan sebagai masyarakat yang melakukan pelayanan berlebihan kepada orang yang berkuasa, pejabat, atau birokrat. Penulis instan tanpa sadar menjadi feodal, dalam arti tunduk pada pemegang kuasa yaitu pemesan tulisan. Ia tunduk patuh bahkan tanpa ragu memenuhi apa saja yang dinginkan pemesan tulisan, meskipun hatinya bergejolak, tidak setuju dengan ide dasar yang ditawarkan oleh tulisannya sendiri. 


8. Tidak Kritis

Jika dikaitkan dengan pengertian definisi berpikir kritis menurut Mertes (1991) dalam Middle School Journal, penulis instan dapat dikatakan tidak kritis, Mertes mengemukakan berpikir kritis adalah proses yang sadar dan disengaja yang digunakan untuk menafsirkan dan mengevaluasi informasi dan pengalaman dengan sejumlah sikap reflektif dan kemampuan yang memandu keyakinan dan tindakan. Menulis dengan berpikir kritis perlu waktu yang cukup panjang, sedangkan penulis instan hanya memiliki waktu singkat. Akibatnya penulis instan mengabaikan berpikir kritis agar tulisannya lekas selesai.   

9. Memenuhi Selera Massa Bukan Memperjuangkan Nilai

Selera massa ini erat kaitannya dengan tren juga. Budi Darma menyayangkan jika seorang penulis hanya mengikuti apa yang diinginkan sebagian besar orang saja. Budi Darma menilai karya Pramoedya (Ananta Toer) konfliknya bagus, tetapi novel itu diceritakan masa penjajahan, yang musuhnya jelas. Nilai-nilai untuk melepaskan diri dari penjajahan tersirat dalam karya Pramoedya. Setelah Indonesia merdeka, Budi Darma merasa musuh utama penulis adalah dirinya sendiri. Keinginan-keinginan yang terpendam, seringkali tiada disadari penulis itulah yang dapat menjadikannya mengikuti selera massa saja. Ingin kaya, ingin terkenal sehingga mendapat honor besar dan keinginan-keinginan dasar biologis lainnya.  

Apakah ini berarti menjadi penulis instan itu haram? Silakan renungkan sendiri. Seseorang punya motivasi dan alasan yang berbeda saat menulis. Hanya saja yang perlu kita ingat, niat akan turut menentukan hasil dan mengarahkan pikiran kita guna mencapai tujuan.




sumber gambar enemyofdebt. com, fbnstatic. com


Versi cetak artikel terbit di harian Kompas edisi 12 April 2015, di halaman 12 dengan judul "Menu Sastra Serba Instan". Berikut petikan wawancaranya 



Apa yang membuat Anda selalu kelihatan tangguh?
Wah, ya, ndak tahu, ya. Begini. Tanggal 25 April nanti usia saya 78. Sebelum (mencapai) 77 saya bisa bohong. Misalnya 76 bilang 67, 73 bilangnya 37. Sekarang ndak bisa, kalau dibalik jadi tambah tua, ha-ha-ha….

Bagaimana cara Anda menjaga mood kepengarangan, pada usia sepuh masih produktif menulis?
Setiap hari saya ikuti berita di koran, televisi, sehingga pengetahuan saya up to date. Saya usahakan jangan ketinggalan zaman. (Sampai kini Budi Darma masih menulis cerita pendek. Cerita pendeknya ”Lelaki Pemanggul Goni” bahkan dinobatkan sebagai karya terbaik dalam Cerpen Pilihan Kompas 2013).

Apa yang merisaukan Anda dalam pertumbuhan sastra kita?
Sastra kita terus ditulis. Dunia digital telah membawa sastra ke arah yang belum pernah dicapai sebelumnya. Pada hakikatnya semua bisa dianggap sastra, hanya mana yang bisa dimasukkan kanon (mahakarya) mana yang tidak. Sastra digital kebanyakan tanpa renungan, seperti juga kalau kita baca di Facebook, lebih banyak instan daripada pengendapan pemikiran.
Katakanlah kalau era kertas (buku) ini hilang, bisakah karya-karya yang ditulis pada media digital itu kita harapkan jadi karya sastra yang baik?
Bisa aja, tapi nanti ada seleksi alam. Selain itu banyak juga penulis kita sekarang yang kejar tayang. Mereka menargetkan berapa banyak akan menulis karya.

Apakah karya-karya macam ini akan ada gunanya?
Ini pertanyaan sukar. Sebab, kebanyakan penulis itu, kan, menulis tanpa mempertimbangkan kontrol (orang lain), semua dinilai oleh diri sendiri. Apakah ini ada sumbangannya? Kemungkinan sumbangannya pada literasi. Itu semacam kemampuan menulis dan membaca, tetapi belum tentu menulis sastra. Setidaknya literasi memicu orang untuk berkarya.
(Budi Darma berpikir bahwa tingkat pencapaian literasi satu bangsa akan memengaruhi kemajuan dari bangsa itu sendiri. Sastra digital harusnya menjadi pendorong tingkat leterasi di Tanah Air. Tetapi karena sifatnya yang cepat dan instan, sastra jenis ini mudah hilang. Walau ia tetap mengakui bahwa dunia sastra dan filsafat adalah dunia pemikiran yang selalu didatangi orang-orang yang serius. Gerakan-gerakan dalam berbagai bidang tidak pernah dimulai oleh massa, tetapi selalu diawali oleh para pemikirnya).

Jika begitu kita membutuhkan peran kritikus yang lebih aktif?
Begini. Untuk menjadi kritikus yang menghasilkan kritik yang baik, orang harus punya wawasan yang luas. Sekarang pendidikan di mana-mana maju sehingga boleh dikatakan kritikus itu di mana-mana sama mutunya. Kalau mutunya sama, kalau itu misalnya perempuan ya cantik semua, maka tidak ada yang cantik. Kritikus itu sama, kalau kritikus itu sama mutunya atau sama bodohnya, maka tidak ada kritikus yang baik. Kritik sastra kita tidak berkembang, yang ada kritik formal dan kaku di kampus-kampus.

Apa kritik sastra masih dibutuhkan, ketika karya-karya yang lahir instan dan kejar tayang di media berbasis internet itu tidak butuh lagi redaktur koran, editor buku, kurator, atau penyeleksi lainnya?
Kalau kita bicara seleksi alam tadi, kritikus masih tetap dibutuhkan. Gambarannya, Shakespeare pernah bilang, ”Kuda yang bagus tidak mau ditunggangi oleh penunggang yang tidak bagus.” Jadi kalau ada karya yang bagus nanti ada kritikus yang bagus juga. Nah, siapa kritikus Indonesia? Sekarang kita belum tahu karena sama pandai dan sama bodohnya. Tak ada yang menonjol karena semua menonjol, lalu semua jadi tidak menonjol.

Menurut Anda, karya yang baik itu seperti apa, sih?
Prinsip karya yang baik, tidak langsung menggambarkan realitas. Kita bisa lihat, misalnya, sastra Indonesia di masa awal seperti Balai Pustaka dan Pujangga Baru, ditulis di masa kita terjajah. Penulisnya tidak menggembar-gemborkan nasionalisme. Andai kata mereka menggembar-gemborkan nasionalisme, yang dekat dengan situasi zaman itu, mungkin sastra kita dilupakan. Yang kita tangkap, kan, seolah-olah para sastrawan kita waktu itu tidak nasionalis. Pada akhirnya sastra yang bisa bertahan terus adalah karya yang seolah-olah tidak mencerminkan masyarakatnya. Seperti juga pemikiran mengenai nasionalisme di masa penjajahan dulu.

Apakah itu tidak berarti sastra terlambat merespons realitas di sekitarnya sehingga tidak bisa dijadikan pedoman nilai?
Ini lagi pertanyaan sukar. Sebab ini kita sudah memasuki area setengah abstrak. Bagaimanapun juga kalau karya sastra itu benar-benar gambarkan realitas, itu biasanya kurang baik karena sekadar mengalihkan. Dan itu artinya kurang pengendapan dan perenungan. Menulis itu seperti puncak gunung es, ia bisa dikerjakan cepat, tetapi telah melalui perenungan dan pengendapan yang panjang. Nanti pembaca bisa rasakan lewat teks, apakah itu pengendapan atau perenungan yang baik. Itu berarti pembaca yang baik.

Menurut Anda apa sumbangan dunia sastra terhadap peradaban manusia?
Berekspresi adalah naluri manusia. Kita tidak mungkin mematikan sastra sebab itu bagian dari ekspresi manusia. Apalagi belakangan banyak orang ingin jadi bagian dari dunia global. Lihat saja alamat e-mail, ada yang pakai huruf-huruf seolah dia berada di luar negeri. Para pengarang memajang foto sampul buku dan pemandangan di luar negeri. Itu bukan hanya ingin jadi bagian dunia global, tetapi semacam ketakutan ditinggalkan.
Pembiaran
Dalam persepsi Anda apa hal terpenting yang pantas dicatat dalam dunia sastra kita?
Sastra kita umumnya lemah dalam psikologi. Sastra kita selalu datar dalam menggambarkan konflik. Kalau sastra itu psikologinya kuat, berarti konfliknya dilematis. Ini sudah sering dibicarakan karena berkaitan dengan kultur masyarakat. Di Amerika dan Inggris banyak dari kita dapat pertanyaan, kenapa konflik psikologi sastra kita kurang kuat. Tetapi di Tiongkok tidak ada pertanyaan itu.

Apakah ketika pengarang bekerja selalu berkaitan dengan kulturnya?
Ya. Ya kalau dalam budaya tidak ada konflik, karyanya kurang baik. Sebab bagaimanapun juga kita, kan, punya kata-kata selaras dan seimbang sehingga itu yang membuat kita cenderung menghindari konflik. Maka akan banyak masalah yang tak terselesaikan. Sering begitu di Indonesia, masalah-masalah terbiarkan…. Bagaimana ujungnya kita tidak tahu....
Kalau sekarang banyak masalah negara dan rakyat yang terbiarkan itu, apa karena faktor kultural?
Kadang-kadang kita bertanya, kebudayaan itu menentukan apa? Kalau di Indonesia umumnya karena faktor alam dan lingkungan yang tentukan (corak) kebudayaan sehingga pada umumnya kita santai. Memang sekarang beda dengan dulu, di mana orang bisa tidur siang. Sekarang orang tampak lebih sibuk dan itu karena pengaruh masyarakat global….

Apa, sih, biang keroknya?
Walau sudah jadi bagian dari masyarakat modern, kita masih mewarisi secara tidak sadar feodalisme. Coba kita lihat ke kantor-kantor, itu kan feodalismenya masih ada. Di perguruan tinggi, orang-orang yang jadi dosen itu orang-orang yang tunduk, yang bukan vokal, yang nurut.

Berpikir kritis itu sudah dimatikan dari awal, maksud Anda?
Ya. Karena itu, anak-anak muda cenderung banyak pindah kerja. Mereka cari pengalaman baru yang tidak terikat sistem feodal. Meski mereka tidak sadari, mereka tidak mau menurut.

Apa hal-hal seperti konflik ini tecermin dalam sastra kita?
Kalau kita lihat karya Pramoedya (Ananta Toer) konfliknya bagus. Tetapi itu karena ia ceritakan masa penjajahan, yang musuhnya jelas. Sekarang kita tidak (sedang) dijajah, musuhnya diri kita sendiri. Ini lebih sulit. Sebab pada waktu dijajah, persatuan kita lebih kuat, setelah merdeka situasinya lain lagi.
Semua novel dan sebagian karya cerpen ditulis Budi Darma ketika berada di luar negeri. Olenka ditulis semasa ia kuliah di Amerika, sedangkan Rafilus ditulis ketika ia menjadi peneliti di Inggris. Budi Darma selalu menganggap menulis karya sastra sesuatu yang serius, oleh karena itu harus ditulis dalam waktu yang sangat khusus. ”Saya menulis kalau banyak punya waktu sendiri seperti ketika di luar negeri,” katanya. Sastra membutuhkan mood karena ia memperjuangkan nilai. Tidak sekadar berkarya untuk memenuhi selera massa, apalagi pasar. Karya-karya yang dikerjakan dengan cara ini hanya akan jadi karya instan, menu yang renyah dikunyah, tetapi tidak bergizi, bahkan merusak ”kesehatan” sastra kita.


Komentar

  1. hihi, memperhitungkan selera pasar kadang perlu, mas Koko :D

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh Surat Keterangan Siswa dengan NISN

Lomba menulis untuk siswa SD, SMP atau SMA seringkali mensyaratkan surat keterangan dari kepala sekolah, lengkap dengan Nomor Induk Siswa Nasional (NISN). Surat ini untuk menguatkan status siswa di satu sekolah sekaligus sebagai upaya menyadarkan pihak sekolah bahwa ada siswanya yang ingin mengikuti suatu lomba.  Surat Keterangan Siswa Siswa cukup menyampaikan permintaan surat keterangan siswa kepada guru, wali kelas, atau wakil kepala sekolah urusan kesiswaan. Surat keterangan siswa dibuat oleh bagian administrasi sekolah, ditandatangani kepala sekolah dan dibubuhi cap. Berikut ini merupakan contoh surat keterangan siswa yang belum ditandatangani kepala sekolah dan dibubuhi cap.    Contoh surat keterangan siswa yang belum dibubuhi cap sekolah dan tanda tangan kepala sekolah Nomor Induk Siswa Nasional Nomor Induk Siswa Nasional merupakan nomor identitas unik yang diberikan secara acak kepada setiap siswa di Indonesia oleh Pusat Data Statistik Pendidikan (PDSP),

Mengingat Kembali Jawaban Pertanyaan Mengapa Ingin Memiliki Anak

Ada satu pertanyaan sederhana, namun tidak semua pasangan menikah dapat menjawabnya. Pertanyaan itu adalah, “mengapa ingin memiliki anak?” Bagi pasangan yang bertahun-tahun menikah namun belum juga dikaruniai anak, pertanyaan itu akan dijawab dengan lancar. Mereka sudah melewati ribuan hari tanpa tangis bayi, tiada canda tawa dengan anak-anak. Mereka menemukan banyak sekali alasan sehingga ingin sekali memiliki anak. Untuk pasangan yang sangat mudah dititipi anak oleh-Nya, pertanyaan mengapa ingin memiliki anak, bisa jadi terbersit pun tidak. Anak seolah hadir begitu saja. Baru saja menikah, beberapa bulan kemudian istri hamil. Setahun kemudian pasangan suami istri telah menjadi orang tua. Beberapa tahun kemudian, anak kedua, ketiga dan seterusnya lahir. Jawaban-jawaban berikut ini mungkin menjadi jawaban sekian orang tua saat mendapat pertanyaan tersebut: Saya ingin menciptakan kembali masa kecil yang indah Ngg…Semacam investasi untuk hari nanti Sebab saya percaya, kita akan m

Inilah 8 Alasan Seorang Suami Tetap Suka Menonton Film Porno

Banyak hal yang berubah setelah menikah. Namun apa jadinya jika seorang pria masih mempertahankan kebiasaan buruknya padahal sudah beristri. Kebiasaan terkait hubungan suami istri lagi. Berikut kisahnya, saya kutip dari guystuffcounseling.com publikasi (27/9/2017) Monica sangat marah pada Ed karena kebiasaan buruknya. Dia menemuai Jed Diamond, Ph.D., seorang psikoterapis di Willits, California, Amerika Serikat, untuk menceritakan masalahnya. "Aku hanya tidak mengerti. Aku suka berhubungan intim. Aku ada kapan pun Ed tertarik. Kenapa dia harus mencari pornografi? Kurasa sesekali tidak menyakitkan, tapi dia sepertinya lebih suka nonton yang begituan di komputer." Monica merasa kebiasaan itu menghancurkan pernikahan mereka. Mengapa suaminya lebih suka nonton daripada melakukan bersama dirinya? Sebagai seorang terapis, Jed telah berbicara dengan banyak pria dan wanita yang memiliki masalah pornografi dalam kehidupan mereka. Jed mengemukakan 8 alasan pria memi