Ada satu pertanyaan sederhana, namun tidak semua pasangan menikah dapat menjawabnya. Pertanyaan itu adalah, “mengapa ingin memiliki anak?” Bagi pasangan yang bertahun-tahun menikah namun belum juga dikaruniai anak, pertanyaan itu akan dijawab dengan lancar. Mereka sudah melewati ribuan hari tanpa tangis bayi, tiada canda tawa dengan anak-anak. Mereka menemukan banyak sekali alasan sehingga ingin sekali memiliki anak. Untuk pasangan yang sangat mudah dititipi anak oleh-Nya, pertanyaan mengapa ingin memiliki anak, bisa jadi terbersit pun tidak. Anak seolah hadir begitu saja. Baru saja menikah, beberapa bulan kemudian istri hamil. Setahun kemudian pasangan suami istri telah menjadi orang tua. Beberapa tahun kemudian, anak kedua, ketiga dan seterusnya lahir. Jawaban-jawaban berikut ini mungkin menjadi jawaban sekian orang tua saat mendapat pertanyaan tersebut: Saya ingin menciptakan kembali masa kecil yang indah Ngg…Semacam investasi untuk hari nanti Sebab saya percaya, kita akan m...
Buku kumpulan Cerpen Ketika Mas Gagah Pergi berhasil dicetak 10.000 eksemplar oleh Pustaka Annida pada tahun 1997. Tahun 2000, Syaamil Cipta Media menerbitkannya lagi dan berhasil cetak ulang beberapa kali. Keberhasilan cetak ulang memunculkan ide untuk mengalihrupakan cerpen Ketika Mas Gagah Pergi menjadi film. Untuk itu perlu adaptasi dari naskah cerpen menjadi skenario film.
Novelet Ketika Mas Gagah Pergi di bawah ini merupakan pengembangan dari cerpen Ketika Mas Gagah Pergi untuk versi film. Ada penambahan cerita untuk memperpanjang alur kisah Mas Gagah dan Gita. Silakan dibaca novelet Ketika Mas Gagah Pergi bagian 1 ini. Semoga banyak hikmah dan manfaat yang bisa kita petik dari kisah sederhana ini.
Novelet Ketika Mas Gagah Pergi di bawah ini merupakan pengembangan dari cerpen Ketika Mas Gagah Pergi untuk versi film. Ada penambahan cerita untuk memperpanjang alur kisah Mas Gagah dan Gita. Silakan dibaca novelet Ketika Mas Gagah Pergi bagian 1 ini. Semoga banyak hikmah dan manfaat yang bisa kita petik dari kisah sederhana ini.
KETIKA MAS GAGAH PERGI
BAGIAN I
Mas
Gagah berubah! Ya, sudah beberapa bulan belakangan ini Mas, sekaligus saudara
kandungku satu-satunya itu benar-benar berubah.
Mas
Gagah Perwira Pratama, masih kuliah tingkat akhir di Teknik Sipil UI. Ia
seorang kakak yang sangat baik, cerdas, periang dan tentu saja ganteng! Mas
Gagah juga sudah mampu membiayai kuliahnya sendiri dari hasil mengajar privat
matematika untuk anak-anak SMP dan SMA, menjadi model majalah, hingga menjadi
senpai di sebuah klub karate.
“Hai
cewek tomboi!” sapanya suatu kali. “Waktunya kamu belajar bela diri! Percuma
kan punya Mas karateka sabuk hitam, kalau kamu nggak bisa karate?”
Hari-hari
kami pun bertambah dengan berlatih karate bersama. “Nggak usah kursus. Kursus
sama Mas aja. Habis ini latihan modeling ya, biar jalanmu nggak lebih gagah
dari Mas!” sindirnya sambil senyum.
Sejak
kecil aku sangat dekat dengannya. Tak ada rahasia di antara kami. Ia selalu
mengajakku kemana ia pergi. Ia yang menolong saat aku butuh pertolongan. Ia
menghibur dan membujuk di saat aku bersedih. Membawakan oleh-oleh sepulang
sekolah dan mengajariku mengaji. Pendek kata, ia selalu melakukan hal-hal yang
baik, menyenangkan dan berarti banyak untukku.
Saat
memasuki usia dewasa kami jadi makin dekat. Kalau ada saja sedikit waktu
kosong, maka kami akan menghabiskannya bersama. Jalan-jalan, nonton film,
konser musik atau sekadar bercanda bersama teman-teman. Mas Gagah yang humoris
itu akan membuat lelucon-lelucon santai hingga aku dan teman-temanku tertawa
terbahak-bahak. Dengan sedan putihnya ia berkeliling mengantar teman-temanku
pulang usai kami latihan teater. Kadang kami mampir dan makan dulu di Kemang atau
tempat-tempat yang sedang happening.
Tak ada
yang tak menyukai Mas Gagah. Jangankan keluarga atau tetangga, nenek-kakek,
orang tua dan adik kakak teman-temanku menyukai sosoknya!
“Kakak
kamu itu keren, cute, macho dan humoris. Masih kosong nggak sih?”
“Git,
gara-gara kamu bawa Mas Gagah ke rumah, sekarang orang serumahku sering
membanding-bandingkan teman cowokku sama Mas Gagah lho! Gila, berabe kan?”
“Gimana
ya Git, agar Mas Gagah suka padaku?”
Dan
masih banyak lontaran-lontaran senada yang mampir ke kupingku. Aku cuma
mesam-mesem. Bangga.
Pernah
kutanyakan pada Mas Gagah mengapa ia belum punya pacar. Apa jawabnya?
“Mas
belum minat tuh! Kan lagi konsentrasi kuliah. Lagian kalau Mas pacaran, banyak
anggaran. Banyak juga yang patah hati! Hehehe,” kata Mas Gagah pura-pura
serius.
Mas
Gagah dalam pandanganku adalah sosok ideal. Kombinasi yang unik dari banyak
talenta. Ia punya rancangan masa depan, tapi tak takut menikmati hidup. Ia
moderat tapi tak pernah meninggalkan shalat! He’s a very easy going person.
Almost perfect!
Huaa,
itulah Mas Gagah. Mas Gagah-ku yang dulu!
Namun
seperti yang telah kukatakan, entah mengapa beberapa bulan belakangan ini ia
berubah. Drastis! Dan kalau aku tak salah, itu seusai ia pulang dari Madura.
“Memang
ngapain sih Mas, ke Madura segala? Lama lagi!”
“Diajak
survei sama salah satu profesor dan kontraktor, untuk perencanaan bangunan
besar di sana, Dik Manis! Sekalian penelitian skripsi Mas….”
Ah, soal
bangunan dan penelitian skripsi. Lalu kenapa Mas Gagah bisa berubah jadi aneh
gara-gara hal tersebut? Pikirku waktu itu.
“Mas
ketemu kiai hebat di Madura,” cerita Mas Gagah antusias. “Namanya Kiai Ghufron!
Subhanallah, orangnya sangat bersahaja, santri-santrinya luar biasa! Di sana
Mas memakai waktu luang Mas untuk mengaji pada beliau. Dan tiba-tiba dunia jadi
lebih benderang!” tambahnya penuh semangat. “Nanti kapan-kapan kita ke sana ya,
Git.
Huh.
Dan
begitulah. Mas Gagah pun berubah menjadi lebay dalam hal agama seperti
sekarang, hingga aku seolah tak mengenal dirinya lagi.
Aku
sedih. Aku kehilangan. Mas Gagah yang dulu, yang selalu kubanggakan kini entah
ke mana….
“Mas
Gagah! Mas Gagaaaaaahhh!” teriakku kesal sambil mengetuk pintu kamar Mas Gagah
keras-keras.
Tak ada
jawaban. Padahal kata Mama Mas Gagah ada di kamarnya. Kulihat stiker metalik di
depan pintu kamar Mas Gagah. Tulisan berbahasa arab gundul. Tak bisa kubaca.
Tapi aku bisa membaca artinya : Jangan masuk sebelum memberi salam!
“Assalaamu’alaikuuum!”
seruku.
Pintu
kamar terbuka dan kulihat senyum lembut Mas Gagah.
“Wa’alaikumussalam
warahmatullahi wabarakaatuh. Ada apa Gita? Kok teriak-teriak seperti itu?”
tanyanya.
“Matiin
CD-nya!” kataku sewot.
“Lho
memang kenapa?”
“Gita
kesel bin sebel dengerin CD Mas Gagah! Memangnya kita orang Arab, masangnya kok
lagu-lagu Arab gitu!” aku cemberut.
“Ini
nasyid. Bukan sekadar nyanyian Arab tapi zikir, Gita!”
“Bodo!”
“Lho,
kamar ini kan daerah kekuasaannya Mas. Boleh dong Mas melakukan hal-hal yang
Mas sukai dan Mas anggap baik di kamar sendiri,” kata Mas Gagah sabar. “Kemarin
waktu Mas pasang di ruang tamu, Gita ngambek, Mama bingung. Jadinya ya,
dipasang di kamar.”
“Tapi
kuping Gita terganggu Mas! Lagi asyik dengerin Lady Gaga eh tiba-tiba terdengar
suara aneh dari kamar Mas!”
“Mas kan
pasangnya pelan-pelan.”
“Pokoknya
kedengaran!”
“Ya,
wis. Kalau begitu Mas ganti aja dengan nasyid yang bahasa Indonesia atau bahasa
Inggris. Bagus, lho! Ada koleksi Cat Steven alias Yusuf Islam yang Mas baru
download nih”
“Ndak,
pokoknya Gita nggak mau denger!” aku ngeloyor pergi sambil membanting pintu
kamar Mas Gagah.
Heran.
Aku benar-benar tak habis pikir mengapa selera musik Mas Gagah jadi begitu.
Kemana CD para rocker yang selama ini dikoleksinya?
“Wah,
ini nggak seperti itu, Gita! Dengerin Lady Gaga dan teman-temannya itu belum
tentu mendatangkan manfaat, apalagi pahala. Lain lah ya dengan senandung nasyid
Islami. Gita mau denger? Ambil aja dari laptop. Mas punya banyak kok!” begitu
kata Mas Gagah.
Oalaa!
Sebenarnya
perubahan Mas Gagah nggak cuma itu. Banyak. Terlalu banyak malah! Meski aku
cuma adik kecilnya yang baru kelas dua SMA, aku cukup jeli mengamati
perubahan-perubahan itu, walau bingung untuk mencernanya.
Di satu
sisi kuakui Mas Gagah tambah alim. Shalat tepat waktu, berjama’ah di masjid,
ngomongnya soal agama terus. Kalau aku iseng mengintip di lubang kunci, ia
pasti lagi ngaji atau baca buku Islam. Dan kalau aku mampir di kamarnya, ia
dengan senang hati menguraikan isi buku yang dibacanya, atau malah
menceramahiku. Ujung-ujungnya, “Ayo dong Gita, lebih feminin. Kalau kamu pakai
rok atau baju panjang, Mas rela deh kasih voucher belanja yang Mas punya buat
beliin kamu rok atau baju panjang. Muslimah kan harus anggun. Coba Dik manis,
ngapain sih rambut ditrondolin gitu!”
Uh.
Padahal dulu Mas Gagah oke-oke saja melihat penampilanku yang tomboi. Dia tahu
aku cuma punya dua rok! Ya rok seragam sekolah itu saja! Mas Gagah juga nggak
pernah keberatan kalau aku meminjam kaos atau kemejanya. Ia sendiri dulu sering
memanggilku Gito, bukan Gita! Eh, sekarang pakai manggil Dik Manis segala!
Hal lain
yang nyebelin, penampilan Mas Gagah jadi aneh. Sering juga Mama menegurnya.
“Penampilanmu
kok sekarang lain, Gah?”
“Lain
gimana, Ma?”
“Ya,
nggak semodis dulu. Nggak dandy lagi. Biasanya kamu yang paling sibuk dengan
penampilan kamu yang kayak cover boy itu.”
Mas
Gagah cuma senyum. “Suka begini, Ma. Bersih, rapi meski sederhana. Kelihatannya
juga lebih santun.”
Ya,
dalam penglihatanku Mas Gagah jadi lebih kuno dengan kemeja lengan panjang atau
baju koko yang dipadu dengan celana panjang longgar. “Jadi mirip Pak Gino,”
komentarku menyamakannya dengan sopir kami. “Untung saja masih lebih ganteng.”
Mas
Gagah cuma tertawa. Mengacak-acak rambutku dan berlalu.
Mas
Gagah lebih pendiam? Itu juga sangat kurasakan. Sekarang Mas Gagah nggak lucu
seperti dulu. Kayaknya dia juga malas banget ngobrol lama atau becanda sama
perempuan. Teman-temanku bertanya-tanya. Thera, peragawati sebelah rumah,
kebingungan. Dan yang paling gawat, Mas Gagah emoh salaman sama perempuan!
Kupikir apa sih maunya Mas Gagah?
“Sok
keren banget sih Mas? Masak nggak mau salaman sama Tresye? Dia tuh cewek paling
beken di Sanggar Gita tahu?” tegurku suatu hari. “Jangan gitu dong. Sama aja
nggak menghargai orang!”
“Justru
karena Mas menghargai dia makanya Mas begitu,” dalihnya, lagi-lagi dengan nada
amat sabar. “Gita lihat kan orang Sunda salaman? Santun meski nggak sentuhan.
Itu sangat baik!”
Huh.
Nggak mau salaman. Ngomong nunduk melulu, sekarang bawa-bawa orang Sunda. Apa
hubungannya?
Mas
Gagah membawa sebuah buku dan menyorongkannya padaku. “Nih, baca, Dik!”
Kubaca
keras-keras. “Dari ‘Aisyah ra. Demi Allah, demi Allah, demi Allah. Rasulullah
Saw tidak pernah berjabat tangan dengan wanita kecuali dengan mahromnya. Hadits
Bukhari Muslim!”
Si Mas
tersenyum.
“Tapi
Kiai Anwar mau salaman sama Mama. Haji Kari, Haji Toto, Ustadz Ali,” kataku.
“Bukankah
Rasulullah uswatun hasanah? Teladan terbaik?” kata Mas Gagah sambil mengusap
kepalaku. “Biar saja mereka begitu, tetapi Mas tidak, nggak apa kan? Coba untuk
mengerti dan menghargai ya, Dik Manis?”
Dik
Manis? Coba untuk mengerti? Huh! Dan seperti biasa aku ngeloyor pergi dari
kamar Mas Gagah dengan mangkel.
Menurutku
Mas Gagah sekarang terlalu fanatik! Aku jadi khawatir. Ah, aku juga takut kalau
dia terbawa oleh orang-orang sok agamis tapi ngawur. Namun, akhirnya aku nggak
berani menduga demikian. Mas-ku itu orangnya cerdas sekali! Jenius malah!
Umurnya baru 20 tahun tapi sudah skripsi di FTUI! Dan aku yakin mata batinnya
jernih dan tajam. Hanya, yaaa akhir-akhir ini ia berubah. Itu saja. Kutarik napas
dalam-dalam.
“Mau
kemana, Git!?”
“Nonton
sama teman-teman.” Kataku sambil mengenakan sepatu. “Habis Mas Gagah kalau
diajak nonton sekarang kebanyakan nolaknya!”
“Ikut
Mas aja, yuk!”
“Kemana?
Ke tempat yang waktu itu lagi? Ogah! Gita kayak orang bego di sana!”
Aku
masih ingat jelas. Beberapa waktu yang lalu Mas Gagah mengajakku pengajian di
rumah temannya. Terus pernah juga aku diajak menghadiri tabligh akbar di suatu
tempat. Bayangin, berapa kali aku dilihatin sama cewek-cewek lain yang
kebanyakan berjilbab itu. Pasalnya, aku kesana memakai kemeja lengan pendek,
jins belel dan ransel kumalku. Belum lagi rambut trondol yang tak bisa
kusembunyikan, meski sudah memakai topi. Sebenarnya Mas Gagah menyuruhku
memakai baju panjang dan kerudung yang biasa Mama pakai mengaji. Aku nolak
sambil mengancam tak mau ikut.
“Assalaamu’alaikum!”
terdengar suara beberapa lelaki.
Mas
Gagah menjawab salam itu. Tak lama kulihat Mas Gagah dan teman-temannya di
ruang tamu. Aku sudah hafal dengan teman-teman si Mas ini. Masuk, lewat,
nunduk-nunduk, senyum sedikit, nggak ngelirik aku, persis kelakuannya Mas
Gagah.
“Lewat
aja nih, Mas? Gita nggak dikenalin?” tanyaku iseng.
Dulu
nggak ada deh teman Mas Gagah yang nggak akrab denganku. Tapi sekarang, Mas
Gagah jarang memperkenalkan mereka padaku. Padahal teman-temannya lumayan
ganteng.
Mas
Gagah menempelkan telunjuknya di bibir. “Ssssttt !”
Seperti
biasa, aku bisa menebak kegiatan mereka. Pasti ngomongin soal-soal keIslaman,
diskusi, belajar baca Al-Quran atau bahasa Arab, yaaa begitu deh!
“Subhanallah,
berarti kakak kamu ikhwan dong!” seru Tika setengah histeris mendengar
ceritaku. Teman akrabku ini memang sudah sebulan ini berjilbab rapi.
Memuseumkan semua baju you can see-nya.
“Ikhwan?”
ulangku. “Makanan apaan tuh? Saudaranya bakwan atau tekwan?” suaraku yang keras
membuat beberapa makhluk di kantin sekolah melirik kami.
“Huss!
Untuk laki-laki ikhwan, untuk perempuan akhwat. Artinya saudara. Biasa dipakai
untuk menyapa saudara seiman kita,” ujar Tika sambil menghirup es kelapa
mudanya. “Kamu tahu Hendra atau Isa, kan? Aktivis Rohis kita itu contoh ikhwan
paling nyata di sekolah ini.”
Aku
manggut-manggut. Lagak Isa dan Hendra memang mirip Mas Gagah.
“Udah
deh, Git. Nggak usah bingung. Banyak baca buku Islam. Ngaji! Insya Allah kamu
akan tahu meyeluruh tentang din kita. Orang-orang seperti Hendra, Isa, atau Mas
Gagah bukanlah orang-orang yang error atau ke arah teroris. Nggak-lah. Mereka
hanya berusaha mengamalkan Islam dengan baik. Kitanya saja yang mungkin belum
mengerti dan sering salah paham.”
Aku
diam. Kulihat kesungguhan di wajah bening Tika, sobat dekatku yang dulu tukang
ngocol ini. Tiba-tiba di mataku menjelma begitu dewasa.
“Eh,
kapan main ke rumahku? Mama udah kangen tuh! Aku ingin kita tetap dekat, Gita,”
ujar Tika tiba-tiba.
“Tik,
aku kehilangan kamu. Aku juga kehilangan Mas Gagah,” kataku jujur. “Selama ini
aku pura-pura cuek tak peduli. Aku sedih.”
Tika
menepuk pundakku. Jilbab putihnya bergerak ditiup angin. “Aku senang kamu mau
membicarakan hal ini denganku. Nginap di rumah, yuk. Biar kita bisa cerita
banyak. Sekalian kukenalkan pada Mbak Nadia.”
“Mbak
Nadia?”
“Sepupuku
yang kuliah di Amerika! Lucu deh, pulang dari Amrik malah pakai jilbab! Itulah
hidayah!”
“Hidayah?”
“Nginap,
ya! Kita ngobrol sampai malam sama Mbak Nadia!”
“Assalaamu’alaikum,
Mas Ikhwan, eh Mas Gagah!” tegurku ramah.
“Eh adik
Mas Gagah! Dari mana aja? Bubar sekolah bukannya langsung pulang!” kata Mas
Gagah pura-pura marah, usai menjawab salamku.
“Dari
rumah Tika, teman sekolah,” jawabku pendek. “Lagi ngapain, Mas?” tanyaku sambil
mengintari kamarnya. Kuamati beberapa poster kaligrafi, gambar-gambar pejuang
Palestina. Puisi-puisi Muhammad Iqbal tentang pemuda Islam yang tertempel rapi
di dinding kamar. Lalu empat rak koleksi buku ke-Islaman….
“Cuma
lagi baca, Git,” katanya.
“Buku
apa?”
“Tumben
kamu pengin tahu?”
“Tunjukin
dong, Mas. Buku apa sih?” desakku.
“Eit,
Eiiit!” Mas Gagah berusaha menyembunyikan bukunya.
Kugelitik
kakinya, dia tertawa dan menyerah. “Nih!” serunya memperlihatkan buku yang
sedang dibacanya dengan wajah setengah memerah.
“Nah
yaaaa!” aku tertawa. Mas Gagah juga. Akhirnya kami bersama-sama membaca buku
Memilih Jodoh dan Tata Cara Meminang dalam Islam itu….
“Maaaas….”
“Apa,
Dik manis?”
“Gita
akhwat bukan sih?”
“Memangnya
kenapa?”
“Gita
akhwat apa bukan? Ayo jawab,” tanyaku manja.
Mas
Gagah tertawa. Sore itu dengan sabar dan panjang lebar, ia berbicara kepadaku.
Tentang Allah, tentang Rasulullah. Tentang ajaran Islam yang indah namun
diabaikan dan tak dipahami ummatnya. Tentang kaum Muslimin di dunia yang sering
jadi sasaran fitnah dan tentang hal-hal lainnya. Dan untuk pertama kalinya
setelah sekian lama, aku merasa kembali menemukan Mas Gagahku yang dulu.
Mas
Gagah dengan semangat terus berbicara. Terkadang ia tersenyum, sesaat sambil
menitikkan air mata. Hal yang tak pernah kulihat sebelumnya!
“Mas,
kok nangis?”
“Mas
sedih karena Allah, Rasul dan Al Islam kini sering dianggap remeh. Sedih karena
ummat yang banyak meninggalkan Al-Quran dan Sunnah, juga berpecah belah. Sedih
karena saat Mas bersenang-senang dan bisa beribadah dengan tenang,
saudara-saudara kita di negeri sendiri banyak yang mengais-ngais makanan di
jalan, dan tidur beratap langit, sementara di belahan bumi lainnya sedang
diperangi….”
Sesaat
kami terdiam. Ah, Masku yang gagah dan tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat
peduli.
“Kok
tumben Gita mau dengerin Mas ngomong?” tanya Mas Gagah tiba-tiba.
“Gita
capek marahan sama Mas Gagah!” ujarku sekenanya.
“Emangnya
Gita ngerti yang Mas katakan?”
“Tenang
aja, Gita nyambung kok!” kataku jujur. Ya, Mbak Nadia juga pernah menerangkan
hal demikian. Aku mengerti meski tak mendalam.
Malam
itu aku tidur ditemani tumpukan buku-buku Islam milik Mas Gagah. Kayaknya aku
dapat hidayah!
Hari-hari
berlalu. Aku dan Mas Gagah mulai dekat lagi, meski aktivitas yang kami lakukan
berbeda dengan yang dahulu. Sebenarnya banyak hal yang belum bisa kupahami,
belum bisa kuterima dari keberadaan Mas Gagah, tetapi sungguh aku tak mau
kehilangan sosoknya. Aku ingin bisa menjaga kedekatan kami selama ini.
Kini
tiap hari Minggu kami ke berbagai masjid, mendengarkan ceramah umum, atau ke
tempat-tempat tabligh akbar digelar. Kadang cuma aku dan Mas Gagah,
kadang-kadang bila sedikit kupaksa Mama Papa juga ikut.
“Masa
sekali aja nggak bisa, Pa…, tiap minggu rutin ngunjungin relasi ini itu.
Kebutuhan rohaninya kapan?” tegurku.
Biasanya
Papa hanya mencubit pipiku sambil menyahut, “Iya deh, iya!”
Pernah
Mas Gagah mengajakku ke acara pernikahan temannya. Aku sempat bingung juga.
Soalnya pengantinnya nggak bersanding tapi terpisah! Tempat acaranya juga
begitu: dipisah antara lelaki dan perempuan. Terus bersama suvenir, para tamu
dibagikan risalah nikah juga.
Dalam
perjalanan pulang, baru Mas Gagah memberi tahu bagaimana hakikat acara
pernikahan dalam Islam. Acara itu tak boleh menjadi ajang kemaksiatan dan
kemubaziran. Ia juga wanti-wanti agar aku tak mengulangi ulah mengintip tempat
cowok dari tempat cewek!
Aku
nyengir kuda.
“Mungkin
kamu, mungkin kita nggak setuju, Sayang, Tapi coba untuk menghargai ya?”
katanya sambil mengusap kepalaku.
Kini
tampaknya Mas Gagah mulai senang pergi denganku. Soalnya aku mulai bisa diatur.
Pakai baju yang sopan, pakai rok panjang, ketawa nggak cekakaan.
“Coba
pakai jilbab, Git!” pinta Mas Gagah suatu ketika.
“Lho,
rambut Gita kan udah nggak trondol! Lagian belum mau deh jreng!”
Mas
Gagah tersenyum. “Gita lebih anggun kalau pakai jilbab dan insya Allah lebih
dicintai Allah. Kayak Mama”.
Memang
sudah beberapa hari ini Mama berjilbab. Gara-garanya dinasehati terus sama si
Mas, dibeliin buku-buku tentang wanita, juga dikompori sama teman-teman
pengajian beliau.
“Gita
mau, tapi nggak sekarang,” kataku. Aku memikirkan bagaimana dengan seabreg aktivitasku
kini, prospek masa depan, calon suami nanti, dan semacamnya.
“Itu
bukan halangan,” ujar Mas Gagah seolah mengerti jalan pikiranku.
Aku
menggelengkan kepala. Heran. Mama yang wanita karier itu kok cepat sekali
terpengaruh sama Mas Gagah!
“Ini hidayah,
Gita!” kata Mama. Papa yang duduk di samping beliau senyum-senyum.
“Hidayah?
Perasaan Gita duluan deh yang dapat hidayah baru Mama! Gita pakai rok aja udah
hidayah!”
“Lho?”
Mas Gagah bengong.
Dengan
penuh kebanggaan, kutatap lekat wajah Mas Gagah. Bagaimana tak bangga? Dalam
acara seminar umum tentang generasi muda Islam yang diadakan di UI, Mas Gagah
menjadi salah satu pembicaranya! Aku yang berada di antara ratusan peserta ini
rasa-rasanya ingin berteriak, “Hei, itu kan Mas Gagah-ku!”
Mas
Gagah tampil tenang. Gaya penyampaiannya bagus, materi yang dibawakannya
menarik dan retorikanya luar biasa! Semua hening mendengar ia bicara. Aku juga.
Mas Gagah fasih mengeluarkan ayat-ayat Al-Quran dan Hadis Rasul. Menjawab semua
pertanyaan dengan baik dan tuntas. Aku sempat bingung lho, kok Mas Gagah bisa
sih? Bahkan materi yang disampaikannya jauh lebih bagus daripada yang dibawakan
oleh kiai-kiai kondang atau ustadz tenar yang biasa kudengar!
Pembicara
yang lain Mbak Nadia Hayuningtyas. Diam-diam aku makin kagum pada kakaknya Tika
ini. Lembut, cantik. Cocok kali ya sama Mas Gagah! Hihi, aku jadi nyengir
sendiri. Tika yang duduk di sebelahku juga tampaknya punya pikiran yang sama.
Jadi kami sering lirik-lirikan dan senyum-senyum sendiri.
Ketika
sesi pertanyaan dibuka lagi, aku mengacungkan tangan tinggi-tinggi. Ada
beberapa yang ingin bertanya. Yup alhamdulillah moderator memilihku!
“Yes!”
kata Tika.
Kulihat
Mas Gagah tersenyum dari jauh.
“Assalaamu’alaikum,
saya Gita, masih SMA. Mau nanya nih, gimana sih hukumnya jilbab? Kan sunnah
ya?” tanyaku sambil sok menjawab sendiri.
Hadirin
kasak kusuk.
“Ih, kok
tanya itu lagi. Kan udah aku kasih tahu itu wajib,”sela Tika setengah berbisik.
Aku tak
peduli. “Ya, setahu saya sih gitu. Ada banyak teman saya masuk pesantren. Di
sana mereka pakai jilbab, tapi pas keluar ya mereka lepas-lah, malah ada yang
jadi rocker.”
Gerrrrr,
hadirin tertawa. Tika menatapku sambil geleng-geleng kepala.
Aku
bingung, tapi tetap semangat. “Kayak saya nih.. Saya mau pakai jilbab, tapi ya
ntar, nunggu udah nikah, udah tua atau pensiun. Lagian yang penting kan kita
bisa jilbabin hati, ya ga? Buat apa pakai jilbab kalau nggak bisa jilbabin
hati. Mendingan nggak dong!”
Hadirin
riuh rendah, bertepuk tangan.
Moderator
garuk-garuk kepala, persis Tika, di sampingku. “Oke, pertanyaan ditampung.”
Saat
moderator meminta para pembicara menanggapi, Mbak Nadia tersenyum, “Sahabat
sekalian, sebagai seorang muslimah, sedikitnya saya punya 8 alasan mengapa saya
memakai jilbab.”
Aku
menatap Mbak Nadia yang tampak lebih cantik dengan jilbab ungunya.
“Mengapa
saya mengenakan jilbab?. Alasan pertama karena berjilbab adalah perintah Allah
dalam surat Al Ahzab ayat 59 dan An Nur ayat 31. Kedua, karena jilbab merupakan
identitas utama untuk dikenali sebagai seorang muslimah. Astri Ivo, seorang
artis, justru mulai menggunakan jilbab saat kuliah di jerman. Saya
Alhamdulillah mulai mengenakannya saat kuliah di Amerika.”
“Wuuuuiiiiih,”
hadirin berdecak kagum.
Alasan
ketiga saya mengenakan jilbab, karena dengan berjilbab saya merasa lebih aman
dari gangguan. Dengan berjilbab, orang akan menyapa saya “Assalamu’alaikum”,
atau memanggil saya “Bu Haji” yang juga merupakan do’a. Jadi selain merasa
aman, bonusnya adalah mendapatkan do’a. Hal ini akan berbeda bila muslimah
mengenakan pakaian yang ‘you can see everything’.
Hadirin
tertawa. Hmmm.
“ Alasan
keempat, dengan berjilbab, seorang muslimah akan merasa lebih merdeka dalam
artian yang sebenarnya. Perempuan yang memakai rok mini di dalam angkot
misalnya akan resah menutupi bagian-bagian tertentu tubuhnya dengan tas tangan.
Nah, kalau saya naik angkot dengan berbusana muslimah saya bisa duduk seenak
saya. Ayo, lebih merdeka yang mana?”
Hadirin
tertawa lagi.
“Alasan
kelima, dengan berjilbab, seorang muslimah tidak dinilai dari ukuran fisiknya.
Kita tidak akan dilihat dari kurus, gemuknya kita. Tidak dilihat bagaimana
hidung atau betis kita…. melainkan dari kecerdasan, karya dan kebaikan hati
kita.”
Aku
menunduk. Benar juga.
“Keenam,
dengan berjilbab kontrol ada di tangan perempuan, bukan lelaki. Perempuan itu
yang berhak menentukan pria mana yang berhak dan tidak berhak melihatnya”.
Hadirin
manggut-manggut. Yes!
“Ke
tujuh. Dengan berjilbab pada dasarnya wanita telah melakukan seleksi terhadap
calon suaminya. Orang yang tidak memiliki dasar agama yang kuat, akan enggan
untuk melamar gadis berjilbab, bukan?”
Aku
menunduk lebih dalam.
“Terakhir,
berjilbab tak pernah menghalangi muslimah untuk maju dalam kebaikan,” ujar Mbak
Nadia. “O ya berjilbab memang bukanlah satu-satunya indikator ketakwaan, namu
berjilbab merupakan sebuah realisasi amaliyah dari keimanan seorang muslimah.
Jadi lakukanlah semampunya. Tak perlu ada pernyataan-pernyataan negatif seperti
“Kalau aku hati dulu yang dijilbabin”. Hati kan urusan Allah, tugas kita
beramal saja dengan ikhlas.”
“Setujuuuu,”
koor hadirin.
“Nah,
sebagai bagian dari ummat yang besar ini, masalah jilbab bukanlah masalah yang
harus membuat kita bertengkar. Pakailah dengan kesadaran dan jangan mengejek
atau memaksa muslimah yang belum memakainya, malah kita harus merangkul mereka.
Tunjukkan ahlak kita yang indah sebagai muslimah.”
Kini
semua orang bertepuk tangan.
Aku
berdiri memberi applaus pada Mbak Nadia. Keren banget alasannya berjilbab.
“Alasan ini Mbak, yang bisa saya terima!” teriakku. “Biasanya yang saya dengar:
kita, perempuan pakai jilbab untuk membantu lelaki menjaga pandangannya. Huh
parah! Sebel dengarnya! Kenapa harus kita yang repot menjaga pandangan mereka?
Nggak banget deh!” teriakku.
Gerrrrrrr,
para hadirin tertawa lagi. Sebagian menunjuk-nunjuk ke arahku. Tika
menarik-narik ujung baju menyuruhku kembali duduk.
Tiba-tiba,
kudengar suara Mas Gagah, “Moderator dan hadirin, perkenalkan, penanya tentang
jilbab ini adalah adik saya Gita Ayu Pertiwi.”
Semua
orang menoleh kepadaku yang masih berdiri. Aku salah tingkah. Mas Gagah tersenyum.
Mbak Nadia juga. Tika nyengir. Aku makin salah tingkah.
“Insya
Allah sebagaimana kita semua, Gita sedang berproses menjadi pribadi yang lebih
baik. Ishlah dalam setiap desah napas. Kita doakan ya agar Allah memberi semua
kebaikan, hidayahnya kepada Gita… dan kita semua di sini.”
“Aaamiiiiiin,”
seru hadirin. Suara Tika terdengar paling keras.
Mas
Gagah tersenyum dari jauh. Alhamdulillah sepertinya ia tak marah padaku..
“Masih
mau ikut Mas nggak?” tanya Mas Gagah saat kami berdua dalam perjalanan pulang.
“Mau. Ke
mana, Mas? Ke tempat Mbak Nadia?” godaku. “Kirain belum kenal sama kakaknya
Tika, ternyata….Uuu, Gita mau tuh jadi adik iparnya Mbak Nadia nanti!”
“Hus!”
Mas Gagah tersipu, menggandengku.
Mobil
kami terus berjalan, jauh sekali, melintasi entah daerah yang asing bagiku. Mas
Gagah berhenti sekali di sebuah supermarket kecil. Aku mengerutkan kening
melihatnya membeli makanan kering, mie instan beberapa kardus, buku dan
alat-alat tulis. Mau ke mana?
Hujan
turun rintik-rintik, lalu makin deras. Mobil kami susah payah masuk di jalan
kecil yang hanya pas untuk satu mobil. Jalan kumuh dengan rumah-rumah triplek
dan kardus berjejalan, di sebuah kolong jembatan di daerah Jakarta Utara.
Ketika
hujan benar-benar reda, aku mencium aroma sampah yang kuat. Kami turun dan
segera kakiku disambut cipratan air sisa hujan yang menghitam. Beberapa anak
berlarian menghampiri kami, di antaranya bertelanjang dada. Wajah mereka
sumringah.
“Mas
Gagah! Mas Gagah datang! Horeeeeee!”
Mas
Gagah menatapku sambil tersenyum. “Kenalkan, ini adik-adik kita, Gita!”
Aku
ternganga.
Mataku
basah saat mereka berebutan mencium tangan kami dan tak berhenti bercerita. Mas
Gagah memeluk, bertanya ini itu, mengajarkan beberapa hal, juga sempat bermain
bersama mereka.
Belum
hilang kagetku, tiga orang berbadan besar, sebagian bertato, tiba-tiba
menghampiri kami. Ah tempat seperti ini memang banyak premannya. Aku sudah
bersiap pasang kuda-kuda ketika kemudian….
“Gagah!”
What?
Mas Gagah dan ketiga orang itu berjabat tangan lalu berangkulan sambil
mengucapkan salam.
“Git,
kenalin: ini Bang Urip, Bang Ucok dan Kang Asep.”
Aku
mengangguk sambil mengernyitkan kening.
“Mereka
yang jaga tempat ini dan melindungi anak-anak dari orang-orang jahat. Kami berkenalan
enam bulan lalu dan membuka rumah baca bagi anak-anak di sini….”
Aku
melongo. Rumah baca? Preman?
“Ya,
kami preman insyap hahaha,” kata salah satu di antara mereka.
Aku
masih tak mengerti.
“Dulu
kite pernah palakin Gagah, trus kite babak belur. Nah senpai kite palak!
Hehehe,” tukas Bang Urip padaku.
Lalu
kulihat mereka bercerita macam-macam pada Mas Gagah.
“Sudah
banyak perbaikan. Yang jadi copet sudah tak ada. Yg jadi garong apalagi. Piss,
Piiis, Gagah. Terimakasih bimbinganmu selama ini. Eh, yang mau ikut ngaji
bertambah lagi. Itu, pimpinan preman RW sebelah,” kata Bang Ucok.
“Alhamdulillah.
Seru itu Bang!” kata Mas Gagah akrab.
“Terus,
anak-anak di sini jadi tambah senang baca euy. Baca melulu. Jadi kepintaran
kadang-kadang! Kami teh bisa kalah atuh sama mereka,” selak Kang Asep sambil
nyengir.
Mas
Gagah tertawa.
“Nyok
kite sholat dulu, Gah. Noh mushola kite nyang bulan lalu belum kelar, sekarang
ude bagus gara-gara elo dan temen-temen lo,” ujar Bang Urip.
“Alhamdulillah,”
senyum Mas Gagah lagi, sambil memberi isyarat tangan padaku untuk melihat jauh
ke depan, arah pojok kanan dari tempat kami berdiri. Sebuah mushala kecil
dengan bata merah yang baru disemen.
“Eh,
setiap ketemu kan kite yel dulu!” kata Bang Urip.
Lalu
seperti diaba-aba, kulihat mereka semua berdiri: “Preman insaaaaap!” teriak
Bang Urip.
Lalu
kulihat Mas Gagah, Bang Ucok, Bang Urip dan Kang Asep melompat-lompat sambil
mengepalkan tangan ke atas, berseru penuh semangat ala militer: “Huh huh huh
huh: istiqomah!” Mereka berangkulan. Kemudian setengah berlari sambil tertawa,
menuju mushala.
Di
belakang mereka, anak-anak kecil mengikuti sambil melambai-lambai mengajakku ke
mushala pula. Ah, Mas Gagah…, apa lagi yang telah ia lakukan? Mengapa
akhir-akhir ini ia semakin sering membuatku menangis, lalu menorehkan pelangi
di dada yang sesak?
Lusa
ulang tahunku. Dan hari ini sepulang sekolah, aku mampir ke rumah Tika. Minta
diajarkan memakai jilbab yang rapi. Tuh anak sempat histeris juga. Mbak Nadia
senang dan berulang kali mengucap hamdalah.
“Salam
nggak, Mbak, sama Mas Gagah?” usilku.
Mbak
Nadia geleng-geleng kepala, mencubit pipi ini. “Aw!” jeritku.
Dan
sekarang saatnya memberi kejutan pada Mas Gagah! Mama bisa dikompakin. Nanti
sore aku akan mengagetkan Mas Gagah. Aku akan datang ke kamarnya memakai jilbab
putihku. Kemudian mengajaknya jalan-jalan untuk persiapan syukuran ultah
ketujuh belasku.
Kubayangkan
ia akan terkejut gembira, memelukku. Apalagi aku ingin Mas Gagah yang
memberikan ceramah pada acara syukuran yang insya Allah mengundang teman-teman,
anak-anak panti yatim piatu dekat rumah kami, serta anak-anak rumah baca dan
para preman insyaf di sana. Hihi, aku tersenyum membayangkan betapa serunya
nanti.
“Mas
Ikhwan!! Mas Gagaaaaah! Maaasss! Assalaamu’alaikum!” kuketuk pintu kamar Mas
Gagah dengan riang.
“Mas
Gagah belum pulang,” kata Mama.
“Yaaaaa,
kemana sih, Ma?!” keluhku.
“Kan
diundang ceramah ke Bogor. Katanya langsung berangkat dari kampus.”
“Jangan-jangan
nginep, Ma. Biasanya malam minggu kan suka nginep di rumah temannya, atau di
Masjid.”
“Insya
Allah nggak. Kan Mas Gagah inget ada janji sama Gita hari ini,” hibur Mama
menepis gelisahku.
Kugaruk-garuk
kepalaku yang tak gatal. Entah mengapa aku kangen sekali dengan Mas Gagah.
“Eh,
jilbab Gita mencong-mencong tuh!” Mama tertawa.
Tanganku
sibuk merapikan jilbab yang kupakai. Tersenyum pada Mama.
Sudah
lepas Isya. Mas Gagah belum pulang juga.
“Mungkin
dalam perjalanan. Bogor kan lumayan jauh,” hibur Mama lagi.
Tetapi
detik demi detik, menit demi menit berlalu. Sampai jam sepuluh malam, Mas Gagah
belum pulang juga.
“Nginap
barangkali, Ma?” duga Papa.
Mama
menggeleng. “Kalau mau nginap Gagah selalu bilang, Pa!”
Aku
menghela napas panjang. Menguap. Ngantuk. Jilbab putih itu belum juga
kulepaskan. Aku berharap Mas Gagah segera pulang dan melihatku memakainya.
“Kriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinggg
!” Telpon berdering.
Papa
mengangkat telepon. “Halo, ya betul. Apa? Gagah?”
“Ada
apa, Pa?” tanya Mama cemas.
“Gagah…,
kritis, Rumah Sakit Mitra,” suara Papa lemah.
“Mas
Gagaaaaaahhh!” Air mataku tumpah. Tubuhku lemas.
Tak lama
kami sudah dalam perjalanan menuju rumah sakit. Aku dan Mama menangis
berangkulan. Jilbab kami basah.
Dari
luar kamar kaca, kulihat tubuh Mas Gagah terbaring lemah. Tangan, kaki,
kepalanya penuh perban. Dua orang polisi hilir mudik di sekitar kami. Salah
satunya sibuk menelpon. Tampak juga beberapa sahabat Mas Gagah.
Beberapa
suster melarang kami untuk masuk ke dalam ruangan.
“Tapi
saya Gita, adiknya, Suster! Mas Gagah pasti mau lihat saya pakai jilbab iniii!”
kataku emosi pada suster di depanku.
Mama
merangkulku, “Sabar, Sayang, sabar.”
Di ujung
ruangan Papa tampak serius berbicara dengan dokter yang khusus menangani Mas
Gagah. Wajah mereka suram.
“Suster,
Mas Gagah akan hidup terus kan, Suster? Dokter? Ma?” tanyaku. “Papa, Mas Gagah
bisa ceramah pada syukuran Gita kan?” air mataku terus mengalir.
Tapi tak
ada yang menjawab pertanyaanku kecuali kebisuan dinding putih rumah sakit. Dan
dari kamar kaca kulihat tubuh yang biasa gagah enerjik itu bahkan tak bergerak!
“Mas
Gagah, sembuh ya, Mas…, Mas Gagah…, Gita udah jadi adik Mas yang manis. Mas
Gagah…,” bisikku.
“Terjadi
kerusuhan di Bogor. Ada ratusan orang yang ingin merusak sebuah rumah ibadah.
Gagah melintasi daerah itu. Ia turun dari mobil dan berusaha menenangkan
massa,” suara seorang polisi bicara pada Papa. “Ia bahkan berdiri di depan
rumah ibadah itu, melindungi mereka bersama dua orang temannya.”
“Sebenarnya
massa sudah tenang, mendengar apa yang disampaikan Gagah. Bahwa Islam itu
mengajarkan kedamaian dan membawa pada keselamatan. Gagah bahkan bilang saatnya
kita bergandeng tangan dan berjabat hati untuk membangun negeri….Mereka secara
bergerombolan pun beranjak pergi,” tambah salah satu teman Mas Gagah.
“Lalu
kenapa jadinya begini?” tanya Mama berlinang airmata.
“Entahlah,
ketika massa pergi, tiba-tiba kami lihat hujan batu, entah dari mana. Sebelum
kami sadar apa yang terjadi, Gagah sudah jatuh berlumuran darah!” kata teman
Mas Gagah lagi. “Kami tidak lihat siapa yang melukainya!”
“Lalu
massa bubar,” kata salah satu polisi. “Beberapa diantaranya melepas jubah yang
mereka kenakan di jalan. Katanya mereka bukan warga desa itu. Mereka entah
datang darimana.”
“Orang
yang menyakiti Mas Gagah pasti orang jahat! Jahaaaaaaat! Gilaaa!” teriakku
terisak.
“Mama memelukku
lagi. “Pasti, Gita. Dan Mas Gagah….Mas-mu orang baik, Gita. Ia sedang berbuat
baik saat terluka…,” tapi airmata Mama tak kalah deras.
Aku
masih menangis dan memukuli dinding. Mama dan Papa berusaha menenangkanku.
Seorang teman Mas Gagah mengingatkan bahwa ini jalan yang harus dilalui Mas
Gagah.
“Jalan
yang dipilih Gagah adalah jalan mulia, Gita,” tuturnya. Jalan yang sungguh
mulia. Kami bersaksi!”
“Mana
tersangkanya, Pak? Mana? Biar ia rasakan juga apa yang dirasakan Gagah
sekarang! Manaaaa?” Suara seseorang, parau!
Aku
menoleh. Bang Ucok dari pemukiman kumuh itu!
Seorang
polisi menghampirinya, “Tenang, maaf…kami belum mendapatkan tersangkanya. Kami
berjanji akan mengusut tuntas kasus ini.”
Tiba-tiba
kulihat di belakang Bang Ucok, Bang Urip dan Kang Asep tergopoh-gopoh. Mata
mereka basah dan merah. Wajah mereka kaku, penuh bias kehilangan yang dalam.
“Harusnya
kite bertige ade di sono! Harusnya kite bertige ade di sono, ya Allaaah!” suara
Bang Urip. “Gagah orang nyang paling baek, Bapak, Ibu. Dia nyang paling peduli
ama kami yang dianggap sampah masyarakat. Dia deketin kami terus lagi suseh
apalagi seneng. Kagak pernah ade unsur politiknye kayak orang-orang laen,” ujar
Bang Urip menghampiri Mama dan Papa.
“Gagah
mah udah membuat kami jadi lebih pede, lebih berarti, ngerti habluminallah
habluminannaas,” tambah Kang Asep.
Mama
Papa memandang mereka haru.
Aku
masih terisak di sudut ruangan. Geram. Marah. Pedih. Gelisah. Sampai kulihat
Tika dan Mbak Nadia datang. Setelah mengucapkan simpati pada Mama dan Papa,
mereka menghampiri, berusaha menenangkan dan menghiburku.
Tiga jam
kemudian kami masih berada di rumah sakit.. Sekitar ruang ICU mulai sepi.
Tinggal kami, seorang bapak paruh baya yang menunggui anaknya yang juga dalam
kondisi kritis, Tika, Mbak Nadia, serta beberapa sahabat Mas Gagah, Bang Ucok,
Bang Urip dan Kang Asep. Aku sudah lebih tenang, berzikir dan terus berdoa,
dibimbing Mbak Nadia. Ya Allah, selamatkan Mas Gagah, Gita, Mama dan Papa butuh
Mas Gagah, ummat juga.”
Tak lama
dokter Joko yang menangani Mas Gagah menghampiri kami. “Ia sudah sadar dan
memanggil nama Ibu, bapak, dan Gi….”
“Gita…,”
suaraku serak menahan tangis.
“Pergunakan
waktu yang ada untuk mendampinginya seperti permintaannya. Sukar baginya untuk
bertahan. Maafkan saya, lukanya terlalu parah,” perkataan terakhir Dokter Joko
mengguncang perasaan, menghempaskan harapanku!
“Mas…,
ini Gita, Mas…,” sapaku berbisik.
Tubuh
Mas Gagah bergerak sedikit. Bibirnya seolah ingin mengucapkan sesuatu.
Kudekatkan
wajahku kepadanya. “Gita sudah pakai… jilbab,” lirihku. Ujung jilbabku yang
basah kusentuhkan pada tangannya.
Tubuh
Mas Gagah bergerak lagi.
“Zikir,
Mas,” suaraku bergetar. Kupandang lekat-lekat wajah Mas Gagah yang separuhnya
tertutup perban. Wajah itu begitu tenang.
“Gi…ta….”
Kudengar
suara Mas Gagah! Ya Allah, pelan sekali!
“Gita di
sini, Mas. Semua ada di sini. Mama, Papa, Bang Ucok, Bang Urip, Kang Asep, Mbak
Nadia, Tika, yang lain juga….
Perlahan
kelopak matanya terbuka. Aku tersenyum.
“Gita
udah pakai jilbab,” kutahan isakku.
Memandangku
lembut, Mas Gagah tersenyum. Bibirnya seolah mengucapkan sesuatu seperti
hamdalah.
“Jangan
ngomong apa-apa dulu, Mas,” ujarku pelan ketika kulihat ia berusaha lagi untuk
mengatakan sesuatu.
Mama dan
Papa memberi isyarat untuk gantian. Ruang ICU memang tak bisa dimasuki
beramai-ramai. Dengan sedih aku keluar. Ya Allah…, sesaat kulihat Mas Gagah
tersenyum. Tulus sekali!
Tak lama
aku bisa menemui Mas Gagah lagi. Dokter mengatakan Mas Gagah tampaknya
menginginkan kami semua berkumpul.
Kian
lama kurasakan tubuh Mas Gagah semakin pucat. Tapi sebentar-sebentar masih
tampak bergerak. Tampaknya ia juga masih bisa mendengar apa yang kami katakan
meski hanya bisa membalasnya dengan senyuman dan isyarat mata.
Kuusap
setitik lagi airmata yang jatuh. “Sebut nama Allah banyak-banyak, Mas,” kataku
sambil menggenggam tangannya. Aku sudah pasrah pada Allah. Aku sangat
menginginkan Mas Gagah terus hidup. Tapi sebagai insan beriman, seperti yang
dikatakan Mbak Nadia, aku pasrah pada ketentuan Allah. Allah tentu lebih tahu
apa yang terbaik bagi Mas Gagah.
“Laa…ilaaha…illa…llah…,
Muham…mad…Ra…sul…Al…lah…,” suara Mas Gagah pelan, namun tak terlalu pelan untuk
kami dengar.
Mas
Gagah telah kembali pada Allah. Tenang sekali. Seulas senyum menghiasi
wajahnya.
Aku
memeluk tubuh yang terbujur kaku dan dingin itu kuat-kuat. Mama dan Papa juga.
Isak kami bersahutan walau kami rela dia pergi.
Selamat
jalan, Mas Gagah!
Buat
adikku manis Gita Ayu Pratiwi,
Semoga
memperoleh umur yang berkah,
Dan
jadilah muslimah sejati
yang
selalu mengedepankan nurani
Agar
Allah selalu besertamu.
Ingat
Islam itu indah…
Islam
itu cinta…
Kalau
kau tak setuju pada suatu kebaikan,
yang
mungkin belum kau pahami,
kau
selalu bisa menghargainya…
Sun
Sayang,
Mas
Ikhwan, eh Mas Gagah!
Kubaca
berulang kali kartu ucapan Mas Gagah. Keharuan memenuhi rongga-rongga dadaku.
Rok dan
blus panjang, serta jilbab hijau muda, manis sekali. Ah, ternyata Mas Gagah
telah mempersiapkan kado untuk hari ulang tahunku. Aku tersenyum miris.
Kupandangi
kamar Mas Gagah yang kini lengang. Aku rindu panggilan Dik Manis, Aku rindu
suara nasyid. Rindu diskusi-diskusi di kamar ini. Rindu suara merdu Mas Gagah
melantunkan kalam Ilahi yang selamanya tiada kudengar lagi. Hanya gambar-gambar
kaligrafi di dinding kamar yang menatapku. Puisi-puisi Iqbal tentang pemuda
yang seolah bergema di ruang ini.
Lalu
wajah adik-adik di kolong jembatan berlintasan, wajah Bang Ucok, Bang Urip,
kang Asep…, Mbak Nadia, doa-doa buat negeri dan ummat yang selalu ia panjatkan….
Setitik
air mataku jatuh lagi.
“Mas,
Gita akhwat bukan sih?”
“Ya,
Insya Allah akhwat!”
“Yang
bener?”
“Iya,
dik manis!”
“Kalau
ikhwan itu harus ada jenggotnya, ya?!”
“Kok
nanya gitu?”
“Lha,
Mas Gagah ada jenggotnya dikit!”
“Ganteng
kan?”
“Uuu!
Eh, Mas, kita kudu jihad, ya? Jihad itu apa sih?”
“Ya
always dong! Jihad itu kamu sungguh-sungguh berbuat baik…”
Setetes,
dua tetes, air mataku kian menganak sungai.
Kumatikan
lampu. Kututup pintu kamarnya pelan-pelan.
Selamat
jalan, Mas Ikhwan! Selamat jalan, Mas Gagah…
Baca juga Cerpen Ketika Mas Gagah Pergi
Komentar
Posting Komentar