Ada satu pertanyaan sederhana, namun tidak semua pasangan menikah dapat menjawabnya. Pertanyaan itu adalah, “mengapa ingin memiliki anak?” Bagi pasangan yang bertahun-tahun menikah namun belum juga dikaruniai anak, pertanyaan itu akan dijawab dengan lancar. Mereka sudah melewati ribuan hari tanpa tangis bayi, tiada canda tawa dengan anak-anak. Mereka menemukan banyak sekali alasan sehingga ingin sekali memiliki anak. Untuk pasangan yang sangat mudah dititipi anak oleh-Nya, pertanyaan mengapa ingin memiliki anak, bisa jadi terbersit pun tidak. Anak seolah hadir begitu saja. Baru saja menikah, beberapa bulan kemudian istri hamil. Setahun kemudian pasangan suami istri telah menjadi orang tua. Beberapa tahun kemudian, anak kedua, ketiga dan seterusnya lahir. Jawaban-jawaban berikut ini mungkin menjadi jawaban sekian orang tua saat mendapat pertanyaan tersebut: Saya ingin menciptakan kembali masa kecil yang indah Ngg…Semacam investasi untuk hari nanti Sebab saya percaya, kita akan m...
Aku
akan menceritakan kepadamu, satu kisah yang kudapatkan saat melakukan
perjalanan untuk penulisan buku pada pertengahan 2014 lalu. Di tepian Selat Malaka,
Pulau Sumatera. Tentang seorang lelaki yang jatuh cinta kepada pohon dan selalu
berusaha menjaganya. Muhyidin namanya.
Api!
Sagu
terbakar!
Muhyidin
terjaga sepenuhnya. Lelaki berusia empat puluhan itu berusaha mengumpulkan kesadarannya.
Satu jam sudah ia terlelap. Teriakan di kejauhan itu sayup-sayup terdengar.
Lengannya
yang berkulit sawo matang segera menyambar kaos berkerah dan topi. Derak lantai
kayu dari rumah panggungnya seirama gegas langkah kaki. Sepatu but di teras
dapur ia kenakan. Sepeda motor yang terparkir di depan dapur rumahnya segera
digebah menyusuri jalan beton Desa Lukit.
Terik
matahari masih membakar kulit. Pada udara panas seperti ini api memang mudah
terpatik. Api menari bersama angin, hinggap di lahan-lahan bertanaman kering.
Tak butuh waktu lama untuk mengubah ranting, pohon-pohon kecil, dan semak
belukar yang mati menjadi arang bahkan abu!
Semoga saja kebunku
selamat… Itulah harapan Muhyidin.
Rupiah
dari pohon-pohon sagu memang bukan penghasilan tetapnya. Kebun sagu warisan
dari orang tuanya itu juga tak begitu luas. Sekitar 10 hektar saja. Orang
tuanya yang berasal dari tanah Jawa tak meninggalkan warisan banyak. Namun
setiap tahun, pohon-pohon sagu itu memberikan pemasukan yang cukup menebalkan
dompet untuk menghidupi istri dan empat anaknya. Terlebih dua anaknya tengah
bersekolah di Pulau Jawa. Pemasukan harian dari ojol1 pohon karet dan panen kelapa sawit tak seberapa.
Terlebih kedua tanaman itu belum dibudidayakan secara serius. Hanya budidaya
sekadarnya secara turun temurun.
Muhyidin
dan penduduk Desa Lukit, Kecamatan Merbau, Kabupaten Kepulauan Meranti,
Provinsi Riau memang pernah mengabaikan pohon-pohon sagu. Dulu, mereka
menganggap Sagu Meranti bukan komoditas yang patut dibanggakan. Sagu hanyalah
bahan makanan selingan. Pendapatan dari menjual pohon sagu untung-untungan, tak
begitu bisa diharapkan sebagai mata pencaharian utama. Pohon-pohon besar di
hutan lebat Riau lah yang lebih cepat memberikan rupiah dalam jumlah
besar.
Pada
tahun 1990-an, membalak hutan, menebang pohon-pohon besar untuk dijual ke
negara tetangga pernah menjadi pilihan Muhyidin dan banyak warga dusunnya.
Muhyidin menerobos hutan dan menarik gelondongan kayu. Kayu diletakkan di
pinggir hutan. Orang-orang bersepeda motor datang, meletakkan kayu di atas
gerobak. Gerobak bermuatan gelondongan kayu ditarik sambil mengendarai sepeda
motor sampai dermaga. Di dermaga, tauke sudah menunggu dengan segepok uang.
Maka dalam hitungan hari, bahkan jam, gelondongan kayu telah berubah menjadi
rupiah.
Setelah
menghitung tenaga yang ia keluarkan dan penghasilan yang didapatkan, Muhyidin
lebih memilih untuk menjadi pengangkut kayu dari pinggir jalan ke dermaga saja.
“Upah
angkut kayu Rp60.000/ton untuk satu kali trip. Dalam satu hari, aku bisa
mengangkut 10 ton jika bekerja dari jam 7 pagi sampai jam 7 malam. Aku cukup
bekerja tiga sampai empat hari saja dalam seminggu,” tuturnya kepadaku.
Pembalakan
semakin marak kala cukong-cukong kayu Malaysia datang dan melakukan transaksi
secara langsung dengan para pembalak.
Muhyidin
sadar, membalak hutan bukan pekerjaan yang patut dibanggakan. Secara tidak
langsung, ia juga dicap sebagai perusak lingkungan, penyumbang sebab perubahan
iklim dunia oleh wartawan dan para pecinta lingkungan di media massa. Akan
tetapi, jika ia tak turut membalak, orang lain yang akan melakukannya, bahkan
oknum aparat. Menebang kayu untuk kebutuhan sehari-hari sudah biasa dilakoni
oleh masyarakat Meranti. Karena sudah biasa, maka mereka tidak begitu merasa
bersalah. Terlebih mereka merasa sebagai pemilik hutan-hutan tempat pohon-pohon
besar itu tumbuh.
Aparat
kepolisian sebenarnya kerap melakukan razia. Kayu-kayu gelondongan disita dari
para pembalak. Aksi kejar-mengejar juga sering terjadi. Meskipun begitu, para
pembalak lebih lihai melarikan diri dan bersembunyi.
Kesadaran
untuk berhenti membalak hutan muncul dalam diri Muhyidin karena ia tahu,
pohon-pohon liar yang ditebang akan habis seiring waktu. Ia harus lebih
realistis memilih jalan guna menafkahi keluarganya. Muhyidin kembali ke kebun
miliknya. Bagaimana pun juga, pohon-pohon sagu, karet, dan sawit yang tumbuh di
kebunnya lebih berkah jika digunakan untuk menghidupi keluarganya.
Bagaimana jika
pohon-pohon sagu itu habis terbakar?
Kekhawatiran
itu melintas di kepalanya. Jika hal itu terjadi, ia harus melapang-lapangkan
hati, menyabar-nyabarkan diri.
Jika
kebun sagunya habis terbakar. Muhyidin harus membeli abot2 terbaik, menanamnya, lalu menanti setidaknya 10-12
tahun untuk bisa memanennya. Selama masa tumbuh itu, ia tak perlu melakukan
perawatan khusus. Ia hanya perlu memantau tunas sagu sesekali, membersihkan
tanaman pengganggu di sekitarnya, cukup itu saja. Pohon sagu mudah ditanam dan dirawat, namun harus sabar
menanti masa panennya. Orang-orang yang tak cukup punya kesabaran tersebut sering
menjual pohon sagu pada toke. Toke siap menerima pohon sagu usia berapapun.
Semakin muda, semakin murah harganya. Pada waktu panennya kelak, sang toke akan
menuai jumlah rupiah berlipat-lipat daripada yang pernah ia keluarkan untuk
berikan pada pemilik kebun. Toke hanya membeli pohon, tanah tetap menjadi hak
pemilik kebun. Jikalau pemilik kebun hendak sekalian menjual tanahnya pun, toke
siap menyediakan rupiah dengan hati gembira.
Semasa
kecilnya, sekali-dua kali pernah juga orang tua Muhyidin menjual sagu yang
masih muda. Namun kenangan terbesar tentang sagu yang mengisi memorinya adalah
panen sagu dan mengolah sagu menjadi tepung. Tahun 1970-an warga desa Lukit
masih memproses tual sagu secara tradisional. Tual sagu dibelah dan diambil
bagian dalamnya kemudian diparut. Bayangkan saja parutan kelapa tradisional
tetapi berukuran lebih besar. Hasil parutan dari pohon sagu diperas dengan cara
diinjak-injak. Muhyidin kecil senang sekali menginjak-injak parutan sagu agar
keluar sari patinya. Sebelumnya ia harus membersihkan kaki terlebih dahulu dan
membungkus kaki-kakinya dengan plastik. Sari pati sagu dibiarkan mengendap.
Endapan itulah yang kemudian diambil dan dikeringkan sehingga menjadi tepung
sagu. Tepung sagu yang kering diolah menjadi berbagai makanan. Ia terbiasa
sarapan, makan siang, dan makan malam dengan olahan sagu. Sagulah yang telah
mengantarkannya sampai bisa bersekolah di Pulau Jawa.
Muhyidin
menghentikan laju sepeda motornya di tepi jalan. Putaran kenangan masa kecil ia
hentikan. Cemas berganti lega. Kebunnya masih hijau. Ia menyeruak rerumputan
dan paku laut. Pohon-pohon sagu setinggi lima kali tubuhnya masih kokoh
berdiri. Di sisi pohon sagu yang tinggi terdapat 5-10 anakan. Saat pohon sagu
tertua dipanen, anakan-anakan sagu itulah yang selanjutnya tumbuh menjulang.
Abot
yang ia tanam beberapa minggu lalu juga masih berdiri. Abot sagu itu sudah
berumur satu tahun dan berdaun cukup lebar. Ada dua abot di lubang tanam
berukuran 50 cm x 50 cm yang digali Muhyidin. Air dibiarkan menggenang di
sekitar abot. Dua batang sengaja ditanam agar jika salah satunya mati, abot
yang lain masih dapat bertahan dan menjadi satu rumpun.
Satu
tahun kemudian abot itu akan tumbuh menjadi batang sagu. Muhyidin hanya perlu
menjaganya dari rumput liar dan belukar. Babi dan kera kerap berkeliaran, namun
tak selalu merusak abot. Bahaya terbesar hanyalah api. Api kerap berkobar di
musim kemarau. Belukar dan tanaman kering adalah makanan empuk bagi api.
Untunglah api tak memangsa pohon-pohon sagu di kebun Muhyidin.
“Pak
Muhyidin,” suara teriakan laki-laki memanggilnya.
Muhyidin
kembali ke jalan tempat ia memarkir sepeda motor. Di sana juga telah menanti
Pak Arip, CSR officer satu perusahaan eksplorasi minyak di Meranti.
“Aman
kebun sagunya?” tanya Pak Arip.
“Iya,
aman, Pak. Sudah cemas saya tadi,” katanya.
“Kita
ke lokasi kebun yang terbakar,“ ajak Pak Arip sambil menyalakan mesin sepeda
motornya.
Muhyidin
mengikuti dengan mengendarai sepeda motornya sendiri.
Sepuluh
menit kemudian, sampailah ia di sebuah jalan yang hanya cukup dilintasi satu
mobil saja, namun dapat dipastikan sangat jarang mobil melintasinya. Di tepi
jalan terdapat rawa-rawa namun ditumbuhi pohon sagu. Sagu-sagu yang hangus
daun-daunnya karena dimakan api. Asap masih mengepul dari semak dan tumbuhan
kering yang terbakar di sekitar pohon sagu.
“Ayo
kita bantu, pak!” ajak Arip sambil menggulung kemeja lengan panjangnya.
Muhyidin
bergabung dengan para lelaki yang menciduk air itu. Ia tahu, bukan pohon sagu
yang harus diselamatkan. Pohon sagu yang menghitam memang tak mewujud jadi arang, namun bisa dipastikan kandungan
sagunya sudah menyusut. Mempersempit lahan yang terbakar dengan pemadaman
secepatnya itulah yang utama.
“Kenapa bisa terbakar seperti ini? Alami atau
sengaja perbuatan orang?” gumam Arip saat mengoper ember berisi air.
“Keduanya
mungkin. Kita tak pernah tahu kebakaran yang terjadi disengaja atau tidak. Tiap
tahun, ada saja lahan yang terbakar. Jadi masyarakat sudah terbiasa.
“Iya,
cuma sayang sekali pohon sagunya,” keluh Arip .
Pohon-pohon
yang dekat dengan genangan air rawa basah berasap. Nasib pohon-pohon itu hanya
menanti ditebang untuk digantikan abot, atau dibiarkan terbengkalai oleh
pemiliknya. Umumnya pemilik kebun akan membiarkan pohon yang sudah hangus begitu
saja, sampai lahan bekas terbakar menghijau dan layak tanam lagi.
Satu
jam kemudian upaya pemadaman dihentikan. Asap-asap tipis masih membumbung.
Titik-titik api tak terlihat lagi, namun bara yang bisa menyulut api mungkin
saja masih bersembunyi entah di mana. Muhyidin memutuskan untuk pulang.
Meskipun lega karena kebunnya terbebas dari api, namun ia ikut berduka atas
kebun milik warga lain yang hangus terbakar.
Semoga pemilik
kebunmendapat ganti rezeki yang lebih baik, ucap Muhyidin
dalam hati. Senja mulai mewarnai langit kepulauan Meranti.
Keesokan
harinya, kabar kebun-kebun yang terbakar masih berlanjut. Lahan yang terbakar
semakin meluas. Muhyidin terpaksa siaga di kebunnya. Angin dapat menerbangkan
api. Api kecil yang hinggap di tumbuhan-tumbuhan kebun yang kering akan
meraksasa seketika. Maka dari itu Muhyidin selalu berjaga-jaga.
Angin
juga meniupkan asap sehingga masyarakat Riau daratan dan kepualauan kebagian
sesaknya. Negara tertangga seperti Malaysia, Singapura juga ikut mengeluhkan
asap yang menghampiri mereka. Pemerintah turun tangan. Beberapa minggu kemudian
asap menghilang dan baru dalam hitungan bulan api di kebun-kebun sagu
benar-benar padam. Setelah tak tersiar lagi kabar kebun sagu atau lahan yang terbakar,
barulah Muhyidin tenang.
Dari
kisah Muhyidin ini, entah kenapa aku berkesimpulan, bahwa setiap pohon harus
bisa berubah wujud menjadi uang, agar orang cinta, agar orang menjaganya, dan
menanam tunas baru kala pohon tuanya dimanfaatkan.
Serius, saya nulis cerpen judulnya "Perempuan Penghibat Pepohonan" hehe
BalasHapus